Translate

Total Tayangan Halaman

Followers

Senin, 03 Juni 2013

PENGARUH KEMATANGAN BERAGAMA TERHADAP KUALITAS MANUSIA-UNGGUL-PARTISIPATORIS

LATAR BELAKANG
Keterpurukkan Indonesia dalam lumpur kemiskinan dan keterbelakangan –dari segala sisi-- saat ini secara langsung telah menunjukkan rendahnya mutu kualitas hidup sebagai sebuah bangsa yang besar. Ditambah lagi dengan informasi dari dunia pendidikan yang menunjukkan rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi karena ketidak-berdayaannya dalam menghadapi masalah (Munandar, 1997 ; Diana, 1998). Namun pada sisi lain, terdapat beberapa figur manusia Indonesia yang memiliki kualitas tinggi yang telah mampu merubah Indonesia menjadi ‘baru’, yaitu M.Amien Rais, B.J Habibie, KH Abdurrahman W, Akbar Tanjung, dan atau tokoh-tokoh lainnya.  
Perlu disadari, ada keterkaitan yang sangat erat antara mutu kualitas hidup masyarakat (sebagai phenomenal field) dengan kualitas manusianya (sebagai aktor pembangun). Dimana kualitas manusia tersebut yang sangat menentukan terbentuknya masyarakat dengan mutu kualitas hidup yang tinggi (Albanik, tahun tidak diketahui). Oleh karena itu, untuk membangun kembali bangsa Indonesia dengan tingginya mutu kualitas hidup masyarakatnya, maka perlu kiranya untuk meningkatkan kualitas manusianya. Kualitas manusianya  yang dimaksudkan dalam tulisan ini berdasarkan pada suatu kriteria tertentu yang mengacu pada keunggulan SDM ---yang diharapkan mampu menghadapi tantangan global, khususnya tantangan menghadapi abad 21 atau millenium ketiga yang terus-menerus berubah dengan cepat, termasuk juga arus informasi dan teknologi--- yaitu kriteria Manusia-Unggul-Partisipatoris merupakan salah satu konsep yang dibangun untuk menggambarkan SDM unggul yang diinginkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mutu kualitas seseorang muncul dan terlihat dari suatu perilaku keseharian ditentukan atau di dominasi oleh adanya intensi, sikap, dan keyakinan seseorang akan perbuatan yang dilakukannya (Fishbein dan Ajzen, 1975; dalam Andrianto, 1999). Dimana salah satu sumber utama dari sikap, keyakinan, dan nilai-nilai dalam diri individu adalah keberagamaan individu.
Ajaran agama mengandung nilai moral-nilai moral dan perilaku yang melahirkan konsekuensi pada pemeluknya untuk mengamalkan nilai moral-nilai moral tersebut ke dalam perilaku keseharian. Namun tidak semua individu dapat melakukannya. Hanya individu yang memiliki kematangan dalam beragamalah yang berpeluang untuk mewujudkannya. Salah satu ciri pribadi yang matang dalam dalam kehidupan beragama ditandai dengan dimilikinya konsistensi antara nilai moral-nilai moral agama yang tertanam dalam diri individu dengan perilaku keseharian yang dimunculkan. Dalam bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu matang dalam kehidupan beragamanya, maka individu tersebut akan konsisten dengan ajaran agamanya. Konsistensi ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan mampu untuk mengintegrasikan atau menyatukan ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan. Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong umat untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama dalam setiap sisi kehidupan. Begitu pula dengan masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat yang memiliki landasan keberagamaan yang kental.
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoretis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.

RUMUSAN MASALAH

Benarkah terdapat peranan kematangan beragama terhadap tingginya kualitas manusia berdasarkan kriteria Manusia-Unggul-Partisipatoris?

TUJUAN PENELITIAN

Mengkaji peranan kematangan beragama terhadap tingginya kualitas manusia berdasarkan kriteria Manusia-Unggul-Partisipatoris guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang berkaitan dengan pembahasan di atas  telah banyak diteliti. Sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh Setiadi dkk (1986), ada tujuh ciri-ciri dan dimensi kualitas pribadi manusia  Indonesia yang dominan yaitu : Ketaatan pada prinsip moral dan norma agama, Pengembangan diri dan orientasi masa depan, Sikap sosial dalam hubungan antar manusia, Persatuan bangsa, Efisiensi waktu, tenaga dan biaya, Kemandirian dan Pengendalian diri. Selanjutnya mereka juga mengungkapkan,

“Dengan menggunakan sekor ketujuh dimensi analisa faktor dari data Indonesia, telah dilakukan perbandingan antara apa yang ideal dianggap penting dengan apa yang dipersepsikan ada dalam kenyataannya : baik untuk responden secara keseluruhan, responden perkota, maupun untuk responden dosen, mahasiswa dan masyarakat. Perbandingan tersebut antara peringkat ideal dan kenyataan dari analisa faktor, seluruh responden menunjukkan bahwa ketaatan pada prinsip moral dan norma agama sama-sama menduduki peringkat pertama. Hasil yang serupa dijumpai pada kelompok dosen mahasiswa, masyarakat, dan 14 dari 15 kota”.
     
Demikian halnya dengan Sebagaimana hasil penelitian Ahmad (1995) yang menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat religiusitas seseorang maka semakin tinggi tingkat disiplin yang dimilikinya, begitu pula dengan dedikasinya. Karena seseorang yang berdedikasi terlihat dari kedisplinannya. Dinamika ini terbukti bila seseorang memiliki kematangan beragama. Karena individu yang memiliki kematangan beragama, ia memiliki karakter yang dinamis –yang mencakup motivasi intrinsik, otonom, dan mandiri dalam berkehidupan agama--- dan konsistensi moral yang tinggi . Dimana kedua ciri tersebut merupakan salah satu faktor tumbuhnya sikap disiplin dan dedikasi dalam diri individu.

Persamaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang terdahulu adalah penggunaan variabel kematangan beragama. Adapun perbedaannya adalah penelitian ini menghubungkan antara kedua variabel yaitu kematangan beragama dengan peningkatan kualitas individu. Fokus kajian ini adalah peningkatan kualitas individu.

KERANGKA TEORI
Kematangan Beragama
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoretis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Allport (1953), selain memberikan definisi, juga menyertakan ciri-ciri individu yang memiliki kematangan beragama dalam pembahasannya, yaitu :
a. Kemampuan melakukan diferensiasi. Kemampuan melakukan diferensiasi dengan baik dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan berperilaku terhadap agama secara objektif, kritis, reflektif, berpikir terbuka atau tidak  dogmatis, observatif, dan tidak fanatik secara terbuka. Individu sering mengalami konflik antara rasio dengan dogma agama. Individu yang memiliki kematangan beragama akan mampu mengharmoniskan keduanya melalui kemampuannya dalam berpikir objektif, melakukan observasi dan berani melakukan kritik terhadap apa yang dirasakannya. Individu yang memiliki kehidupan beragama yang terdiferensiasi, akan mampu menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragamanya, (Allport, 1953).
b. Berkarakter dinamis. Dalam diri individu yang berkarakter dinamis, agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Aktivitas keagamaan semuanya dilaksanakan demi kepentingan agama itu sendiri (Subandi, 1995). Karakter yang dinamis ini di dalamnya meliputi motivasi intrinsik, otonom, dan independen dalam kehidupan beragama.
c.              Konsistensi moral. Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada konsekuensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara tingkah laku dengan nilai moral. Agama dan moralitas memiliki keterkaitan yang kompleks. Salah satunya adalah adanya keselarasan dan kesamaan antara tingkah laku dengan nilai-nilai agama. Kepercayaan tentang agama yang intens akan mampu mengubah atau mentransformasikan tingkah laku (Allport, 1953).
d.             Komprehensif. Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai keberagamaan yang luas, universal, dan toleran dalam arti mampu menerima perbedaan (Allport, 1953). Dengan memandang agama sebagai hal yang universal, akan mengarahkan individu untuk mencerna bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya senantiasa dikembalikan pada Tuhan (Subandi, 1995).
e. Integral. Keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan segenap aspek-aspek lain dalam kehidupan, termasuk di dalamnya dengan ilmu pengetahuan (Subandi, 1995). Integrasi antara agama dengan ilmu pengetahuan yang sangat penting, mengingat keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perasaan yang integral ini menjadikan individu yang dewasa akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan kejahatan.
f. Heuristik. Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995). Orang yang beragama secara dewasa akan menyadari bahwa dirinya tidak pernah sempurna, sehingga selalu berusaha meningkatkan keimanannya.

Manusia-Unggul-Partisipatoris
           
Manusia-Unggul-Partisipatoris adalah manusia yang selalu menggali dan mengembangkan potensi diri dan ikut serta secara aktif dalam pengembangan kualitas suatu masyarakat. Ciri-ciri Manusia-Unggul-Partisipatoris, antara lain adalah :

1.      Dedikasi dan disiplin
Seorang manusia unggul haruslah mempunyai rasa pengabdian terhadap tugas dan pekerjaannya. Dia harus ---di dalam kaitan ini--- sadar arah. Memiliki visi jauh kedepan, yaitu visi normatif atau idealis dan visi strategik. Visi normatif adalah visi ideal yang belum kongkrit dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip pengarah (gueding principle). Visi strategik yaitu visi yang dijabarkan dalam target-target dan terikat dalam suatu kurun waktu tertentu yang perlu diwujudkan.

2.      Jujur
Kejujuran yang dimiliki manusia unggul adalah kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain. Kejujuran terhadap diri sendiri adalah jujur terhadap kemampuan diri sendiri. Mengakui apa yang bisa diperbuat dan yang tidak bisa di perbuat, suatu ciri sikap profesionalisme. Sikap profesionalisme ini juga ditandai oleh seseorang manusia unggul yang mengetahui kapan ia berdiri sendiri dan kapan ia harus bekerja sama.
Kejujuran terhadap orang lain dapat dilihat dari kemampuan bekerja sama, karena pada akhirnya suatu kerjasama akan didasarkan kepada saling percaya atau trust seperti yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama (Tilaar, 1998), karena tanpa kejujuran manusia unggul akan dapat survive.

3.      Inovatif
Seorang manusia unggul bukanlah seorang manusia rutin yang puas dengan  hasil yang telah dicapai dan telah puas dengan status quo. Seorang manusia unggul adalah yang selalu gelisah dan selalu mencari yang baru. Mencari yang baru tidak perlu menciptakan sesuatu yang baru tetapi juga yang dapat menemukan fungsi yang baru dari suatu penemuan. Hal itu hanya bisa dicapai dengan creative thinking. Hanya dengan berpikir kreatif kita dapat terlepas dari cengkeraman birokrasi-feodalis kaku yang hanya bergerak apabila ada petunjuk dari atasan. Budaya memohon petunjuk bertentangan dengan manusia unggul.

4.      Tekun
Seorang manuisa unggul adalah seorang yang dapat memfokuskan perhatian pada tugas dan pekerjaan yang telah diserahkan kepadanya, atau suatu usaha yang sedang dikerjakannya. Ia menghargai nilai-nilai sumber yang ada yang tidak akan menyebabkan pemborosan, karena pemborosan bukanlah sesuatu yang sesuai  dengan kehidupan yang mementingkan mutu.

5.      Ulet
Manusia adalah manusia yang tidak mudah putus asa. Ia akan terus-menerus mencari dan mencari. Dibantu dengan sikapnya yang tekun, maka keuletan akan membawa dia kepada suatu dedikasi terhadap pekerjaannya mencari yang lebih baik dan bermutu.

6.      Kemauan untuk belajar
Menurut UNESCO, belajar pada abad 21 haruslah didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to think, 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4) learning to live together. Keempat pilar tersebut merupakan soko guru dari manusia abad 21 menghadapi arus informasi dan kehidupan yang terus-menerus berubah.
Proses belajar yang terus-menerus terjadi seumur hidup ialah belajar bagaimana berpikir (learning to think).
Selain itu, bukan hanya sekedar berpikir, akan tetapi juga menuntut manusia yang berbuat (learning to do). Yaitu, manusia yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya dan menjadi manusia produktif. Tanpa berbuat sesuatu, pemikiran atau konsep tidak mempunyai arti.  
Selanjutnya, adanya bahaya yang mengancam planet bumi sebagai satu-satunya tempat kehidupan sebelum di temukannya kemungkinan hidup di planet-planet lainnya. Hal ini berarti bahwa setiap manusia di muka bumi dituntut secara sadar belajar bagaimana untuk tetap hidup (learning to be).
Tuntutan kemauan untuk belajar yang terakhir adalah mempererat hidup bersama antar individu dalam konteks lintas bangsa (learning to live together). Hal ini terutama sebagai upaya untuk menghadapi dan mencegah terjadinya pertentangan budaya.

HIPOTESIS

Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Manusia-Unggul-Partisipatoris adalah manusia yang selalu menggali dan mengembangkan potensi diri dan ikut serta secara aktif dalam pengembangan kualitas suatu masyarakat.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian deskriptif.Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variable mandiri, baik satu variable atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variable lain. Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskriptif mengenai situasi-situasi atau kejadian tertentu sehingga diperoleh deskriptif yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi tertentu.
PENGAMBILAN DATA
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti atau data yang diperoleh langsung dari lapangan(penelitian). Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memeberikan data kepada pengumpul data atau data yang diambil peneliti sebagai pendukung penelitian.dari sumber-sumber yang dapat dipercaya dan di pertanggunajawabkansecara ilmiyahyaitu dengan melakukan study pustaka (penelusuran melalui buku,artikel,jurnal, dan lain-lain)
TEHNIK PENGUMPULAN DATA
Metode Observasi
Metode observasi diartikan sebagai “Pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. (Margono, 2004: 158). Dalam hal ini penulis menggunakan observasi langsung, yaitu pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap obyek di tempat terjadinya atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observasi berada bersama obyek yang diselidiki.

Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi dapat dilakukan dengan mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan-catatan, buku-buku, surat kabar, notulen, agenda, dan sebagainya. (Suharsimi Arikunto, 2002: 188). Metode ini digunakan untuk mendapatkan gambaran umum tentang pengaruh kematangan beragama terhadap tingginya kualitas manusia.

Metode Wawancara
Metode wawancara adalah “Alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula”. (Margono, 2004: 165).

TEHNIK ANALISIS DATA
Metode analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan bersifat induktif. Hasil penelitian berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orng-orang dan keadaan yang diamati.

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D, 1998. Membangun Kompetensi Manusia dalam Millenium Ketiga. Psikologika No 6 tahun III 1998. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII.
Andrianto,1999. Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Intensi Prososial : Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UII. Skripsi(tidak diterbitkan).Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII.
Covey, 1997. Tujuh Kebisaan Manusia yang Sangat Efektif. Jakarta : Gramedia.
Diana, 1998. Hubungan Antara Relegiusitas dan Kreativitas Siswa SMU Negeri III Sukabumi. Ringkasan Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Najib & Sukardiono, 1998. Amien Rais Sang Demokrat : Dilengkapi catatan harian sampai jatuhnya Soeharto. Jakarta: Gema Insani Press.
Qardhawi, Y, 1999. Al-Qur’an : Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Gema Insani.
Setiadi, dkk, 1986. Kualitas Pribadi Manusia Indonesia Penunjang Pembangunan : Suatu Studi Mengenai Kualitas Ideal dan Kenyataannya di 15 Kota di Indonesia. Laporan Penelitian(tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi UI.
Suhartanto, 1993. Hubungan Orientasi Kehidupan Keagamaan, Locus of Control, dan Harga Diri dengan Intensi Prososial. Ringkasan Skripsi.Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM














Wakaf dalam KHI


BAB I
PENDAHULUAN

Wakaf Merupakan salah satu tuntutan ajaran islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial). Karena Wakaf adalah Ibadah, maka tujuan utamanya adalah pengabdian diri kepada Allah SWT dan Ikhlas karena mencari Ridla-Nya.
Selama ini, perwakafan belum diatur secara tuntas dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Wakaf mengalir begitu saja apa adanya kurang memperoleh penanganan yang sungguh-sungguh, baik ditinjau dari pemberian motivasi maupun pengelolaanya. Akibatnya dapat dirasakan hingga kini, yaitu terjadi penyimpangan pengelolaan wakaf dari tujuan wakaf sesungguhnya. Disamping itu, karena tidak adanya ketertiban pendataan, banyak benda wakaf yang karena tidak diketahui datanya, jadi tidak terurus bahkan wakaf itu masuk ke dalam siklus perdagangan.
Keadaan demikian tidak selaras dengan maksud dari wakaf yang sesungguhnya dan juga akan mengakibatkan kesan kurang baik terhadap islam sebagai ekses penyelewengan wakaf, sebab tidak jarang sengketa wakaf terpaksa harus diselesaikan di pengadilan.
Padahal kalau dikaji dengan seksama, perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya peranan wakaf. Kebiasaan berwakaf sebenarnya sudah melembaga sedemikian rupa di kalangan ummat Islam, walaupun hasilnya belum maksimal seperti yang diharapkan. Artinya, jumlah harta wakaf khususnya wakaf tanah dan uang belum mencukupi dan berpengaruh secara signifikan di masyarakat.


BAB II
    PEMBAHASAN

PENGERTIAN WAKAF
Secara bahasa (etimologi), wakaf berasal dari kata waqafa yang berarti menahan, mencegah, menghentikan dan berdiam di tempat. secara istilah (terminologi), wakaf adalah “perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta benda miliknya (aset  produktif) dan melembagakannya untuk selamanya atau sementara untuk dimanfaatkan guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun secara istilah syariat, sebagian ulama menyebutkan bahwa wakaf adalah: “Menahan suatu benda dan membebaskan/mengalirkan manfaatnya.”
Disyariatkannya wakaf di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut.
1. Dalil dari al-Qur’an
Secara umum wakaf ditunjukkan oleh firman AllahTa’ala :
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92)
Begitu pula ditunjukkan oleh firman-Nya:
“Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 272)
2. Dalil dari al-Hadits
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi pijakan dalam masalah ini (wakaf) adalah bahwasanya Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu memiliki tanah di Khaibar. Tanah tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki. Beliau pun datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam  untuk meminta pendapat beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   tentang apa yang seharusnya dilakukan (dengan tanah tersebut)—karena para sahabat g adalah orang-orang yang senantiasa menginfakkan harta yang paling mereka sukai. Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   memberikan petunjuk kepada beliau untuk mewakafkannya dan mengatakan,
 “Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ini adalah wakaf pertama dalam Islam. Cara seperti ini tidak dikenal di masa jahiliah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Disyariatkannya wakaf juga ditunjukkan oleh hadits:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya kecuali dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan hadits ini, “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya wakaf dan besarnya pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim)
3. Ijma’
Disyariatkannya wakaf ini juga ditunjukkan oleh ijma’, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Imam at-Tirmidzi t ketika menjelaskan hadits Umar Radhiyallaahu ‘anhu tentang wakaf.
Beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan sahih. Para ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   dan yang lainnya telah mengamalkan hadits ini. Di samping itu, kami tidak menjumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang terdahulu di antara mereka tentang dibolehkannya mewakafkan tanah dan yang lainnya.” (Jami’ al-Imam at-Tirmidzi)

Rukun Wakaf
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Raudhatuth Thalibin bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju dari wakaf tersebut), dan
4. Shighah (lafadz dari yang mewakafkan).







Syarat Wakaf

èSyarat Wakif, Orang yang mewakafkan disyaratkan cakap bertindak dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi 4 macam kriteria, yaitu:

1 Merdeka.
2 Berakal sehat.
3 Dewasa.
4 Tidak di bawah pengampuan.

èSyarat Mauquf, benda-benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Benda tersebut harus mempunyai nilai.
2. Benda bergerak atau benda tetap yang dibenarkan untuk diwakafkan.
3. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi wakaf.
4. Benda tersebut telah menjadi milik si wakif.

èSyarat Mauquf ‘Alaih.

Mauquf ‘Alaih yaitu orang atau badan hukum yang berhak menerima harta wakaf. Adapun syarat-syaratnya ialah:

1. Harus dinyatakan secara tegas pada waktu mwngikrarkan wakaf, kepada siapa/apa ditujukan wakaf tersebut.
2. Tujuan wakaf itu harus untuk ibadah.

èSyarat Shighat.

Shighat akad adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Adapun syarat sahnya shighat adalah:

1. Shighat harus munjazah (terjadi seketika).
2. Shighat tidak diikuti syarat bathil. Shigaht tidak diikuti pembatasan waktu tertentu.
3.Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan.

Penjelasan Wakaf Dalam KHI
Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF
Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurangkurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;
d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukanberdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatansetempat.
TATA CARA PERWAKAFAN DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF
Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat PembuatnyaAkta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN PENGAWASAN BENDA WAKAF
Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang mewilayahinya.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.
Ketentuan Penutup
Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.



Daftar Pustaka
Faishal Haq, Drs dan A. Saiful Anam, Drs. H, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Garoeda Buana Indah, Pasuruan, 1993, hal. 17-29