Translate

Total Tayangan Halaman

Followers

Minggu, 24 Februari 2013

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM


Pengertian Filsafat Hukum Islam
1. Filsafat dan Hikmah
Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan (Philos berarti Cinta, dan Sophia berarti Hikmah, kebijaksanaan. Jadi kata filsafat berarti mencintai atau lebih suka atau keinginan kepada kebijaksanaan. Orangnya disebut filosof, dalam istilah Arab disebut failasuf. Kata philosophia ini diserap ke dalam bahasa arab menjadi falsafah yang berarti hubbu al-hikmah (cinta kebijaksanaan).
Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan
Hikmah dalam bahasa Arab berarti besi kekang, yaitu besi pengendali binatang. Kata hikmah dalam pengertian kendali ini pun dapat juga diartikan sebagai kendali dan pengekang manusia yang memilikinya untuk tidak berkehendak, berbuat dan berbudi pekerti yang rendah dan tercela, melainkan mengendalikannya untuk berbuat dan bertindak serta berprilaku yang benar dan terpuji.
Mustafa Abd al-Raziq, hikmah seperti yang disebut dalam al-Qur’an menjadikan orang yang memiliki hikmah sebagai orang yang mulia dan berwibawa. Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan UNISBA, 1995) hlm. 2.
Hikmah difahami pula sebagai paham yang mendalam tentang agama. Hikmah dalam berdakwah sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam Surat an-Nahl:125 berarti keterangan (burhan) yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan.
Muhammad Rasyid Ridla: Hikmah adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu dan mengenal hakikat apa yang terdapat dalam sesuatu tersebut, mengenai faidah dan manfaatnya. Pengetahuan tentang hakikat tersebut menjadi pendorong atau motive untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar.
Intisari filsafat ialah berfikir secara mendalam tentang sesuatu, mengetahui apa, bagaimana, mengapa, dan nilai-nilai dari seseuatu itu. Intisari hikmah memahami wahyu secara mendalam dengan yang ada pada diri manusia sehingga mendorong orang yang mengetahuinya untuk beramal dan bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu.

Pemakaian Kata Filsafat dalam Kajian Hukum Islam
Fuad Ahwani dan Mustafa Abdul Raziq : Filosof muslim menggunakan kata Hikmah sama dengan kata filsafat, dan kata hakim sama dengan kata filosof.
Fuqoha menggunakan kata hikmah untuk makna asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum)
Al-Raghib berkata: إصابة الحق بالعلم والعقل

Hasbi sh-Shiddiqie : Koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (fikih)
Amir Syarifuddin: Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam” (syari’ah dan fikih)

Pengertian Filsafat Hukum Islam
Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum Islam.
Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupupn proses penetapannya”, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan dan memelihara hukum Islam sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini, hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa di semesta alam (salihun likulli zaman wa makan).

Obyek Teoritis (falsah al-tasyri’).
  • Adanya Hukum Islam. 
  • Prinsip-prinsip Hukukm Islam.Sumber hukum IslamTujuan hukum Islam.
  • Asas-asas hukum Islam . 
  • Kaidah-kaidah hukum Islam. 
  • Metode Penetapan Hukum Islam. Obyek filsafat hukum Islam teoritis ini seringkali disebut obyek

Obyek praktis ( falsah al-syari’ah atau asrar al-syari’ah) 
  • Mengapa manusia melakukan mu’amalah? dan mengapa manusia harus diatur oleh hukum Islam? 
  • Mengapa manusia harus melakukan ibadah seperti sholat? 
  • Apa rahasia atau hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan puasa, haji dan ibadah yang lainnya? dan seterusnya.

Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie mengatakn bahwa falsafat syari’ah itu meliputi: (1) Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam), (2) Khasa’is al-ahkam (ciri-ciri khas hukum Islam), (3) Mahasin al-ahkam atau Mazaya al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum Islam, (4) Thawabi’ al-ahkam (karakteristik hukum Islam).

Kegunaan Filsafat Hukum Islam
  • Mnjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum yang tidak kering bagi perundang-undangan dunia. 
  • Memberikan landasan bagi politik hukum. Yaitu penerapan hukum Islam agar mencapai tujuannya yang paling mendekati kemaslahatan umat manusia dan menjauhkan dari kerusakan.
  • Menjadi kerangka metodologi dalam memahami makna tekstual dan kontekstual dari teks suci .
  • Menjadi landasan untuk memahami argumen hukum dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.

Perbandingan Filsafat Hukum dengan Filsafat Hukum Islam
Filsafat Hukum

Utrech, seorang fakar hukum berkebangsaan Belanda, mengatakan bahwa filsfat hukum menyangkut; persoalan-persoalan adanya hukum, tujuan berlakunya hukum dan persoalan keadilan. Oleh karena itu menurutnya, filsafat hukum berusaha memberi jawaban atas pertanyaa-pertanyaan, seperti apakah hukum itu? apa sebabnya kita mentaati hukum: apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk menilai baik buruknya hukum itu?
Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Jika ahli hukum menyatakan bahwa kita dapat membedakan pelaku tindak kejahatan yang harus dituntut pertanggungjawabannya atas tindakannya dan yang tidak dapat dituntut pertanggung jawabannya, maka filosof hukum mempertanyakan; mengapa kita membuat perbedaan tersebut, apakah hal itu disimpulkan secara konsisten dari berbagai kasus yang berbeda-beda atau hanyalah justifikasi belaka . Soerjojno Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982) hlm. 24.
Filsafat Hukum Islam secara teoritis tidaklah berbeda dengan filsafat ukum.Namun memiliki perbedaan dari aspek ontologis dan sumber hukum.
SUMBER # http://cpchenko.blogspot.com/2012/03/pengertian-filsafat-hukum-islam.html

Sabtu, 23 Februari 2013

PENDAPATAN ASLI DAERAH


Pengertian pendapatan asli daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal angka 18 bahwa “Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Menurut Warsito (2001:128) Pendapatan Asli Daerah “Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah”.
Sedangkan menurut Herlina Rahman(2005:38) Pendapatan asli daerah Merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah ,hasil distribusi hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai  dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah. (Mamesa, 1995:30)
Sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu bahwa pendapatan daerah dalam hal ini pendapatan asli daerah adalah salah satu sumber dana pembiayaan pembangunan daerah pada Kenyataannya belum cukup memberikan sumbangan bagi pertumbuhan daerah, hal ini mengharuskan pemerintah daerah menggali dan meningkatkan pendapatan daerah terutama sumber pendapatan asli daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33 Tahun 2004)
Sumber-sumber pendapatan asli daerah
Dalam upaya memperbesar peran pemerintah daerah dalam pembangunan, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegiatan operasionah rumah tangganya. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa pendapatan daerah tidak dapat dipisahkan dengan belanja daerah, karena adanya saling terkait dan merupakan satu alokasi anggaran yang disusun dan dibuat untuk melancarkan roda pemerintahan daerah. (Rozali Abdullah, 2002)
Sebagaimana halnya dengan negara, maka daerah dimana masing-rnasing pemerintah daerah mempunyai fungsi dan tanggung jawab untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan rakyat dengan jalan melaksanakan pembangunan disegala bidang sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa “Pemerintah daerah berhak dan berwenang menjalankan otonomi, seluas-Iuasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. (Pasal 10)
Adanya hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan Kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, merupakan satu upaya untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerahnya dengan mengelola sumber-sumber pendapatan daerah secara efisien dan efektif khususnya Pendapatan asli daerah sendiri.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah dalam  mengurus rumah tangganya sendiri diberikan sumber-sumber pedapatan atau penerimaan keuangan Daerah untuk membiayai seluruh aktivitas dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas  pemerintah dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara adil dan makmur.
Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) sebagaimana datur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 157, yaitu:
1)   Hasil pajak daerah;
Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah disamping retribusi daerah. Pengertian pajak secara umum telah diajukan oleh para ahli, misalnya Rochmad Sumitro yang merumuskannya  “Pajak lokal atau pajak daerah ialah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra, seperti Provinsi, Kotapraja, Kabupaten, dan sebagainya”.
Sedangkan Siagin merumuskannya sebagai, “pajak negara yang diserahkan kepada daerah dan dinyatakan sebagai pajak daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik”. Dengan demikian ciri-ciri yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti berikut:
a)    Pajak daerah berasal dan pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah;
b)   Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang;
c)    Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau peraturan hukum Lainnya;
d)   Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai perigeluaran daerah sebagai badan hukum publik;
2)   Hasil retribusi daerah;
Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi daerah. Pengertian retribusi daerah dapat ditetusuri dan pendapat-pendapat para ahli, misalnya Panitia Nasrun merumuskan retribusi daerah (Josef Kaho Riwu, 2005:171) adalah pungutan daerah sebagal pembayaran pemakalan atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau mhlik daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah balk Iangsung maupun tidak Iangsung”.
Dari pendapat tersebut di atas dapat diikhtisarkan ciri-ciri  pokok retribusi daerah, yakni:
a)    Retribusi dipungut oleh daerah;
b)   Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang Iangsung dapat ditunjuk;
c)    Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah;
3)   Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan daerah yang dilepaskan dan penguasaan umum yang dipertanggung jawabkan melalui anggaran belanja daerah dan dimaksudkan untuk dikuasai dan dipertanggungjawabkan sendiri.
Dalam hal ini hasil laba perusahaan daerah merupakan salah satu daripada pendapatan daerah yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Maka sewajarnya daerah dapat pula mendirikan perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk menambah penghasilan daerah disamping tujuan utama untuk mempertinggi produksi, yang kesemua kegiatan usahanya dititkberatkan kearah pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya serta ketentraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat professional dan harus tetap berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yakni efisiensi. (Penjelasan atas UU No.5 Tahun 1962)
Berdasarkan ketentuan di atas maka walaupun perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya hagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dan perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada profit(keuntungan), akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum. Atau dengan perkataan lain, perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjainin keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi.
Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidak dapat memberikan kontribusi maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah. Pemenuhan fungsi sosial oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk mendapat keuntungan yang memungkmnkan perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan dikotomis yang saling bertolak belakang. Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagal badan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan laba/keuntungan. Hal ini dapat berjalan apabila profesionalisme dalam pengelolaannya dapat diwujudkan. (Josef Kaho Riwu, 2005:188)
4)   Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a)    Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b)   Jasa giro;
c)    Pendapatan bunga;
d)   Keuntungan seIisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dan penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah
Sedangkan menurut Feni Rosalia (dalam Bintoro Tjokroamidjojo 1984: 160) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah antara lain:
a)    Dari pendapatan melalui pajak yang sepenuhnya diserahkan kepada  daerah atau yang bukan menjadi kewenangan pemajakan pemerintah pusat dan masih ada potensinya di daerah;
b)   Penerimaan dari jasa-jasa pelayanan daerah, misalnya retribusi, tarif perizinan tertentu, dan lain-lain;
c)    Pendapatan-pendapatan daerah yang diperoleh dari keuntungan-keuntungan perusahaan daerah, yaitu perusahaan yang mendapat modal sebagian atau seluruh dari kekayaan daerah;
d)   Penerimaan daerah dari perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dengan ini dimaksudkan sebagai bagian penerimaan pusat dan kemudian diserahkan kepada daerah;
e)    Pendapatan daerah karena pemberian subsidi secara langsung atau yang penggunaannya ditentukan daerah tersebut;
f)    Seiring terdapat pemberian bantuan dari pemerintah pusat yang bersifat khusus karena keadaan tertentu. Di Indonesia hal ini disebut ganjaran;
g)   Penerimaan-penerimaan daerah yang didapatdari pinjaman-pinjaman yang dilakukan pemerintah daerah
SUMBER #  http://www.negarahukum.com/hukum/pendapatan-asli-daerah.html

Rabu, 20 Februari 2013

FIQH JINAYAH


PENGERTIAN JINAYAH
Fiqih jinayah terdiri dari dua kata yaitu fiqih dan jinayah. Pengertian fiqih secara bahasa berasal dari kata faqiha, yang berarti mengerti, paham. Sedangkan secara istilah sesuai yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut :
الفقه هو العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصلية او هو مجموعة الاحكام الشرعية العملية المستفادة من ادلتها لتفصلية.
“fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fiqih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci”.
Adapun jinayah menurut bahasa adalah :
اسم لما يجنية المرء من شر ومااكتسبه.
“nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang dia usahakan”.
Kata jinayat adalah jama’ dari kata jinayah. Jinayah adalah akar kata (masdar) dan mashdar tidak dapat dijadikan kata jama’ kecuali apabila bertujuan memberi arti bermacam-macam yaitu disengaja, tersalah dan sengaja yang tersalah.
Pada dasarnya pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang yang dilarang. Dikalangan fuqoha’, perkataan jinayah berarti perbuatan yang terlarang menurut syara’, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu sebagai berikut :
فالجناية اسم لفعل محرم شرعا. سواء وقع الفعل علي نفس اومال او غير ذالك.
“jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainya”.
Dalam pengertian sempit Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan dapat menimbulkan hukuman Had, bukan Ta’zir. Sedangkan pengertian luas Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan hukuman Had atau Ta’zir.
Jinayah adalah adalah suatu tindakan yang dilarang oleh syara` karena dapat menimbulkan bahaya bagi agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan sebagainya.
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata janayajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal.
Dalam konteks ini pengertian jinayah sama dengan jarimah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, yaitu :
الجرائم محظورات شرعية زجر الله تعالي عنها بحد اوتعزير.
“jarimah adalah peruatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”.
Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah(hudud jamaknya hadd, artinya batas). Had adalah hukuman yang telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul dan telah pasti macamnya serta menjadi hak Allah, tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia. Jarimah ta’zir adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya: ajaran atau pelajaran)  sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian fiqih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumnya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Adapun yang menjadi landasan pentingnya jinayat adalah : Al-Qur’an, al-Hadits, ijma, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, Adzari’ah dan Urf.
1.      Al-Qur’an
            Untuk cabang hukum pidana ( jinayat ) yaitu tentang macam-macam perbuatan pidana, ancamannya, dan realisasi hukumannya terdapat kira-kira 30 ayat dalam Al-Qur’an ( Abdul Wahhab Khollaf, 1974 : 29 ).
           
            Adapun hal-hal yang berkaitan dengan jinayat dalam Al-qur’an diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Hukum Membunuh
Kekejian membunuh: QS. Al-Isra : 33
Ancaman terhadap pembunuhan: QS.Al-Baqarah:85QS.An-Nisa: 92-93, QS. Al-Maidah: 32
Membunuh diharamkan
Orang yang pertama membunuh: QS.Al-Ma’idah:27-30.
b.      Jenis-jenis pembunuhan
=>   Pembunuhan dengan sengaja: QS.Al-Baqarah: 178QS.An-Nisa: 93
=>   Pembunuhan tidak sengaja: QS. An-Nisa: 92
=>   Sanksi membunuh
=>  Qishas (hukuman balasan)
  Hikmah pelaksanaan Qishas: QS.Al-Baqarah: 179
  Qishas di kalangan Bani Israel: QS.Al-Ma’idah: 45
  Memaafkan Qishas: QS.Al-Baqarah:178QS.Al-Ma’idah: 45
  Pilihan dalam Qishas: QS.Al-Baqarah: 178
  Qishas antara laki-laki dan wanita: QS.Al-Baqarah: 178
  Membunuh hamba dibalas dengan hamba: QS.Al-Baqarah: 178
  Wali si mayit yang menentukan Qishas: QS.Al-Ma’idah: 45QS.Al-Isra: 33
  Menuntut Qishas dengan cara yang tidak benar: QS.Al-An’am:151,QS.Al-Isra: 33QS.Al-Furqan: 68
=>   Diat (denda) pembunuhan
  Diwajibakannya diat: QS. Al-Baqarah: 178QS.An-Nisa: 92
  Membunuh setelah menerima diat : QS. Al-Baqarah : 178
=>  Kafarat membunuh: QS.An-Nisa: 92
=>  Penyesalan si pembunuh dan taubatnya: QS.An-Nisa: 92
c.      Kejahatan selain membunuh
=>Sanksi melukai orang lain
  Qishas bagi yang melukai orang lain : QS. Al-Ma’idah : 45
  Gugurnya hukuman melukai orang lain : QS. Al-Ma’idah : 45

d.       Kejahatan berzina
=>   Hukum berzina
  Keutamaan meninggalkan hal-hal yang keji: QS.An-Nisa: 31QS.Al-Isra’:32QS.Al-Mu’minun: 51011QS.Asy-Syura: 37QS.An-Najm: 32QS.Al-Ma’arij: 29-31.
  Dipaksa berbuat zina: QS. An-Nur: 33
  Zina anggota badan: QS.An-Nur: 30-31.
=> Penetapan berzina
Kesaksian atas Zina : QS. An-Nisa 15, 4, 13
=> Sanksi berzina, mendera pelaku zina
  Jumlah dera bagi pelaku zina: QS.An-Nur: 2
  Mendera perawan pelaku zina: QS.An-Nur: 2
  Mendera hamba wanita pelaku zina: QS.An-Nur: 25
  Cara-cara mendera pelaku zina: QS.An-Nur: 2

e.       Kejahatan menuduh orang lain berbuat zina
=> Hukum menuduh orang lain berbuat zina adalah dosa besar
Menuduh berzina adalah dosa besar : QS. An-Nur : 4, 23
=> Sanksi menuduh orang lain orang lain berbuat zina
  Mendera orang  yang menuduh  berzina : QS. An-Nur : 4
  Kesaksian penuduh zina tidak diterima : QS. An-Nur : 4
  Penuduh zina yang menyesal dan menarik kembali tuduhannya: QS. An-Nur : 5
f.      Kejahatan mencuri
=> Sanksi mencuri
Hukum potong tangan pencuri : QS. Al-Ma’idah :38

g.      Kejahatan begal  - rampok
=>  Hukum begal dan perampokan
Taubatnya perampok dan pembegal : QS. Al-Ma’idah : 34
=>  Sanksi perampok dan pembegal : QS. Al-Ma’idah : 33

h.        Kejahatan menentang penguasa
=> Sanksi penentang
Memerangi penentang : QS. Al-Hujurat : 9
 Sumber ayat dari index  software Al-Qur’an & Terjemah versi 1.2. Depag RI – Isnet from Wesite http ://geocities.com/al-qur’an Indo
 Bunyi Firman Allah SWT yang berhubungan dengan jinayat diantaranya :
  QS. Al-Hadid : 24,  “…… dan Kami telah turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca ( keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”
  QS. An-Nisa : 29-30, “…….dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukannya kedalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah “
  QS. An-Nisa : 92-93. “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, ( hendaklah ) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga si terbunuuh itu. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam, kekal ia didalamnya, dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya”.

Asbabun Nuzul QS. An-Nisa ayat 92:
           Ikrimah r.a. menjelaskan bahwa Harits bin Yazid bersama Abu Jahal pernah menyiksa ‘Ayyasy bin Rabi’ah r.a. tapi kemudian Harits masuk Islam dan ikut hijrah bersama Nabi SAW. Saat dikampung Harrah, Harits bertemu dengan Ayyasy. Dia menghunuskan pedangnya dan membunuh Harits yang dikiranya masih kafir. Lalu diapun datang kepada rasul dan menceritakan peristiwa itu. Maka turunlah ayat ini.  ( Hadits Sahih Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsir Ahmad Hatta. 2009 hal 93)
Asbabun Nuzul  QS. An-Nisa ayat 93
           ‘Ikrima r.a menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada sahabat Anshar yang membunuh saudara Miqyas bin Shubabah. Oleh Rasulullah SAW denda sahabat itu dibayar kepada Miqyas sebagai keluarga terbunuh. Setelah denda diterima, Miqyas langsung membunuh si pembunuh saudaranya itu. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Aku tidak menjamin keselamatannya baik dibulan halal maupun dibulan haram”, lalu iapun dibunuh pula. ( H.R. Ibnu Jarir / al-ishabah:3/603 dalam tafsir Ahmad Hatta.2009 hal 93 )
  QS.Al-baqarah : 178-179. “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Dan dalam Qishas itu ada ( jaminan kelangsungan ) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”
Asbabun Nuzul QS. Al-Baqarah 178
            Ibnu Abbas r.a menuturkan bahwa ayat ini turun sebagai penetapan dari Allah kepada kaum Mukmin dengan adanya pilihan antara Qishas dan diyat, ketika pihak keluarga korban telah memaafkan. Berbeda dengan apa yang telah ditetapkan pada Bani Israel, dimana tidak ada diyat bagi mereka. Yang ada hanyalah hukum qishash ( H.R. Bukhari, Nasai dan ad-Daruquthni, lihat Qurthubi 1/244

2.      Al-Hadits
Rasulullah Saw, dalam khutbah hajju’l wda’ berpesan sebagai berikut :
“Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kamu adalah mulia, sama dengan mulianya hari dan bulanmu ini serta negerimu ini. Ingatlah aku telah menyampaikan : Ya Allah, semoga Engkau saksikan bahwa setiap muslim terhadap muslim lainnya harus menghormati darah, harta benda, dan kehormatannya masing-masing”. (  Fiqh Sunah 10, 1994 hal 14 )

“ Tak ada seorangpun yang dibunuh secara aniaya melainkan anak Adam turut bertanggung jawab atas darahnya, sebab dialah orang pertama yang melakukan pembunuhan ( yaitu Qabil ) ” . H.R. Bukhari dan Muslim
“ Sesungguhnya kehancuran dunia bukan merupakan apa-apa di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan terhadap orang mu’min tanpa hak ”H.R. Ibnu Majah
“  Barangsiapa membantu ( dalam ) pembunuhan terhadap orang islam dengan sepatah kata saja, kelak di hari kiamat dituliskan diantara kedua matanya satu kalimat “Orang yang tidak berpengharapan mendapat rahmat Allah SWT ” H.R. Baihaqy

3.      Hasil Ijma dan Qiyas
            Permasalahan-permasalahan yang semakin komplek tentang kasus pidana telah mendorong para mujtahid untuk menetapkan dalil ijma dan Qiyas sebagai tambahan atau melengkapi hukum-hukum yang telah ada dalam Qur’an dan Hadits, seperti kasus pidana  korupsi yang diqiyaskan dengan mencuri, narkoba yang diqiaskan dengan minumann / obat keras, yang mana kasus-kasus tersebut sama-sama merugikan dan melanggar hak. Untuk itulah ijma dan Qiyas menjadi bagian dari landasan Fiqh jinayat.

4.      Istihsan dan Maslahah Mursalah
            Adanya cara berijtihad dengan istihsan dan maslahah Mursalah ini menyebabkan hukum islam akan bisa menampung hal-hal yang baru dengan tetap tidak kehilangan identitasnya sebagai hukum islam. Disamping itu akan terbuktikan juga bahwa nilai-nilai hukum Islam akan sesuai untuk setiap waktu dan tempat. Dengan kata lain hukum Islam akan mengarahkan kehidupan masyarakat kepada prinsip-prinsip umumnya disatu sisi lain akan menyerap kenyataan- kenyatan dan perubahan-perubahan yang sifatnya kondisional yang terus terjadi sepanjang masa.    A. Djazuli/ Sebuah Pengantar Fiqh. 1987 hal 81-82
            Kemaslahatan yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunah diakui para ulama, contohnya seperti Hifdzuddin, Hifdzu nafsi, Hidzbu nasb, Hidzbu mal, dan Hidzbu aql.
           
            DR. Abdul Wahab Khalaf dan DR. Abu Zahrah memberikan persyaratan maslahah Mursalah sebagai berikut:
a.       Tidak boleh bertentangan dengan maqosidu Syari’ah, dalil-dalil Kulli, semangat ajaran Islam dan dalil-dalil juz’I yang qoth’I wurud dan dalalahnya
b.      Harus ada pembahasan dan penelitian rasional serta mendalam sehingga yakin bahwa hal tersebut memberikan manfaat atau dapat menolak kemudaratan
c.       Kemaslahatan tersebut bersifat umum
d.      Pelaksanannnya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.

5.      Saddzu dzari’ah ( menutup jalan/ cara ) dan Fathudz Dzari’ah ( membuka jalan/cara )
            Saddzu dzari’ah digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan diri dari mafsadat yang dinashkan dan sudah tentu. Sedangkan fathudzari’ah digunakan apabila menjadi cara/ jalan untuk sampai kepada maslahat yang dinashkan. A.Djazuli/ sebuah pengantar Fiqh. 1987 hal 94
            Dasar-dasar Saddzu Dzari’ah dari sunah antara lain :
a.       Nabi melarang membunuh orang Munafiq, karena membunuh orang Munafiq bisa menyebabkan Nabi dituduh membunuh sahabat-sahabatnya.
b.      Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesainya perang. Karena memotong tangan pencuri pada waktu perang membawa akibat tentara-tentara berpikir negatif.

6.      ‘Urf
            Dalam system Hukum Islam, al-adat dijadikan salah satu unsure yang dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Penghargaan hukum Islam terhadap adat ini menyebabkan sikap yang telorance dan memberikan pengakuan terhadap hukum yang berdasar adat menjadi hukum yang diakui oleh hukum islam. Walaupun demikian, pengakuan hukum tersebut tidaklah mutlaq, tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini adalah wajar demi untuk menjaga nilai-nilai, prinsip-prinsip dan identitas hukum islam.
            Penggunaan adat ini bukanlah dalil yang berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan maslahah mursalah. Hanya saja kemaslahatan dalam adat ini sudah berlaku sejak lama sehingga menjadi kebiasaan. Misalnya hukuman yang diberikan pada pelanggar hukum disebuah daerah tertentu, terhadap pencuri, pembunuh, dan lain-lain.
Sehubungan dengan al-adah ashohihah inilah kemudian timbul kaidah : “Al- Adatu muhakkamatun” yang artinya Adat itu bisa dijadikan hukum.