Translate

Total Tayangan Halaman

Followers

Senin, 03 Juni 2013

Wakaf dalam KHI


BAB I
PENDAHULUAN

Wakaf Merupakan salah satu tuntutan ajaran islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial). Karena Wakaf adalah Ibadah, maka tujuan utamanya adalah pengabdian diri kepada Allah SWT dan Ikhlas karena mencari Ridla-Nya.
Selama ini, perwakafan belum diatur secara tuntas dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Wakaf mengalir begitu saja apa adanya kurang memperoleh penanganan yang sungguh-sungguh, baik ditinjau dari pemberian motivasi maupun pengelolaanya. Akibatnya dapat dirasakan hingga kini, yaitu terjadi penyimpangan pengelolaan wakaf dari tujuan wakaf sesungguhnya. Disamping itu, karena tidak adanya ketertiban pendataan, banyak benda wakaf yang karena tidak diketahui datanya, jadi tidak terurus bahkan wakaf itu masuk ke dalam siklus perdagangan.
Keadaan demikian tidak selaras dengan maksud dari wakaf yang sesungguhnya dan juga akan mengakibatkan kesan kurang baik terhadap islam sebagai ekses penyelewengan wakaf, sebab tidak jarang sengketa wakaf terpaksa harus diselesaikan di pengadilan.
Padahal kalau dikaji dengan seksama, perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya peranan wakaf. Kebiasaan berwakaf sebenarnya sudah melembaga sedemikian rupa di kalangan ummat Islam, walaupun hasilnya belum maksimal seperti yang diharapkan. Artinya, jumlah harta wakaf khususnya wakaf tanah dan uang belum mencukupi dan berpengaruh secara signifikan di masyarakat.


BAB II
    PEMBAHASAN

PENGERTIAN WAKAF
Secara bahasa (etimologi), wakaf berasal dari kata waqafa yang berarti menahan, mencegah, menghentikan dan berdiam di tempat. secara istilah (terminologi), wakaf adalah “perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta benda miliknya (aset  produktif) dan melembagakannya untuk selamanya atau sementara untuk dimanfaatkan guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun secara istilah syariat, sebagian ulama menyebutkan bahwa wakaf adalah: “Menahan suatu benda dan membebaskan/mengalirkan manfaatnya.”
Disyariatkannya wakaf di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut.
1. Dalil dari al-Qur’an
Secara umum wakaf ditunjukkan oleh firman AllahTa’ala :
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92)
Begitu pula ditunjukkan oleh firman-Nya:
“Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 272)
2. Dalil dari al-Hadits
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi pijakan dalam masalah ini (wakaf) adalah bahwasanya Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu memiliki tanah di Khaibar. Tanah tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki. Beliau pun datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam  untuk meminta pendapat beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   tentang apa yang seharusnya dilakukan (dengan tanah tersebut)—karena para sahabat g adalah orang-orang yang senantiasa menginfakkan harta yang paling mereka sukai. Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   memberikan petunjuk kepada beliau untuk mewakafkannya dan mengatakan,
 “Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ini adalah wakaf pertama dalam Islam. Cara seperti ini tidak dikenal di masa jahiliah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Disyariatkannya wakaf juga ditunjukkan oleh hadits:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya kecuali dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan hadits ini, “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya wakaf dan besarnya pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim)
3. Ijma’
Disyariatkannya wakaf ini juga ditunjukkan oleh ijma’, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Imam at-Tirmidzi t ketika menjelaskan hadits Umar Radhiyallaahu ‘anhu tentang wakaf.
Beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan sahih. Para ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   dan yang lainnya telah mengamalkan hadits ini. Di samping itu, kami tidak menjumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang terdahulu di antara mereka tentang dibolehkannya mewakafkan tanah dan yang lainnya.” (Jami’ al-Imam at-Tirmidzi)

Rukun Wakaf
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Raudhatuth Thalibin bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju dari wakaf tersebut), dan
4. Shighah (lafadz dari yang mewakafkan).







Syarat Wakaf

èSyarat Wakif, Orang yang mewakafkan disyaratkan cakap bertindak dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi 4 macam kriteria, yaitu:

1 Merdeka.
2 Berakal sehat.
3 Dewasa.
4 Tidak di bawah pengampuan.

èSyarat Mauquf, benda-benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Benda tersebut harus mempunyai nilai.
2. Benda bergerak atau benda tetap yang dibenarkan untuk diwakafkan.
3. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi wakaf.
4. Benda tersebut telah menjadi milik si wakif.

èSyarat Mauquf ‘Alaih.

Mauquf ‘Alaih yaitu orang atau badan hukum yang berhak menerima harta wakaf. Adapun syarat-syaratnya ialah:

1. Harus dinyatakan secara tegas pada waktu mwngikrarkan wakaf, kepada siapa/apa ditujukan wakaf tersebut.
2. Tujuan wakaf itu harus untuk ibadah.

èSyarat Shighat.

Shighat akad adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Adapun syarat sahnya shighat adalah:

1. Shighat harus munjazah (terjadi seketika).
2. Shighat tidak diikuti syarat bathil. Shigaht tidak diikuti pembatasan waktu tertentu.
3.Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan.

Penjelasan Wakaf Dalam KHI
Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF
Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurangkurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;
d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukanberdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatansetempat.
TATA CARA PERWAKAFAN DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF
Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat PembuatnyaAkta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN PENGAWASAN BENDA WAKAF
Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang mewilayahinya.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.
Ketentuan Penutup
Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.



Daftar Pustaka
Faishal Haq, Drs dan A. Saiful Anam, Drs. H, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Garoeda Buana Indah, Pasuruan, 1993, hal. 17-29















Tidak ada komentar:

Posting Komentar