LATAR
BELAKANG
Wakaf merupakan ibadah
maliyah yang erat kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan umat. Ia merupakan
ibadah yang bercorak sosial ekonomi. Dalam sejarah, wakaf telah memiliki peran
yang sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik di bidang
pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, kegiatan keagamaan,
pengembangan ilmu pengetahuan serta peradaban manusia.[1]
Dalam prinsip Islam pemecahan masalah kemiskinan senantiasa mengacu pada
penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil, sebab hakikat permasalahan
kemiskinan yang melanda umat manusia adalah berasal dari distribusi harta yang
tidak merata di tengah-tengah masyarakat, maka dalam menyelesaikan masalah
tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengumpulan zakat, infak,
sedekah dan wakaf yang pendistribusiannya dilakukan secara terstruktur dan
profesional. Sehingga distribusi kekayaan dalam bentuk tranfer payment dapat
terealisasi secara efektif. Besarnya potensi jumlah harta wakaf di Indonesia
memberikan harapan bagi pembenahan ekonomi umat. Sebab kekayaan tersebut
dapat dijadikan modal pembangunan sosial ekonomi masyarakat dalam mencapai
titik equalibrium ekonomi dalam mencapai tingkat kesejahteraan
umat. Konteks wakaf hanya sebagai
aktivitas ibadah ilahiah perlu direvisi kembali dengan melihat
esensi dari potensi yang dimiliki harta wakaf dalam peningkatan kesejahteraan
umat.[2]
Menurut The Pew Forum on
Religion & Public Life pada 2010 Indonesia disebut
sebagai tanah dengan populasi Muslim tertinggi. Persentase Muslim Indonesia
mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia. Dari 205 juta penduduk
Indonesia, dilaporkan sedikitnya 88,1 persen beragama Islam.
Indonesia dengan jumlah penduduk umat islam terbesar di dunia,
dilihat dari jumlah wakaf tanah di Indonesia mencapai 4.142.464.287,906 M²
yang tersebar di 435.395 titik lokasi di Indonesia.[3]Dalam
rangka meningkatkan daya guna wakaf bagi kesejahteraan umat dukungan politik
dari pemerintah, manurut penulis perlu mengkaji implementasi pelaksanaan Undang
Undang Republik Indonesia NO 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah Pengertian Wakaf dan Dasar
Hukumnya?
2.
Bagaimana Norma atau Peraturan Perwakafan Di Indonesia?
3.
Bagaimana Implementasi Perwakafan Di
Indonesia?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal
dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang
berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan,
berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti
tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah
tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam
syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda
(al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah)
(al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat
dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda
pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai
berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan
wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau
mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan
(Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan
harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri.
Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala
perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset
hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat,
wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun
pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan
satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif
(al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf
kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan
wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi
bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh
Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini:
2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal
materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau
musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah
mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta
(tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu
menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia?
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum
Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
Definisi
atau pengertian wakaf yang dituangkan dalam peraturan perundang-undanganpemerintah
Republik Indonesia secara kronologis ditampilkan dibawah ini :
1.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28
tahun 1997 tentang perwakaafan tanah milik disebutkan bahwa wakaf adalah pebuatan hukum seseorang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah
milik dan meembagikannnya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam
2.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam
merumuskan definisi wakaf hampir sama
dengan rumusan PP Nomor 28 Tahun 1997 tersebut di atas melalui pasal 215 ayat
(1) menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok
orang atau badab hukum yang memisahkan sebagian benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan wakif dijelaskan dalam
pasal yang sama ayat (2) adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya.
3.
Pengertian Wakaf dalam Undang-Undang
Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (1)
menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah. Sementara itu pada pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa wakif adalah pihak yang mewakafkan harta
bendanya.
4.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42
Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.[4]
Dari beberapa
definisi wakaf tersebut, dapat dirumuskan bahwa wakaf perbuatan hukum oleh
wakif (pemberi wakaf) untuk menyerahkan sebagian harta benda miliknya baik
berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, tanpa merusak atau menghabiskan
substansi harta bendanya, untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah, kemaslahatan
umat, untuk kesejahteraan umum menurut ketentuan syariat dan bertujuan untuk
memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak
dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam.
B.
Dasar Hukum Wakaf
Dasar
Hukum wakaf baik secara implisit maupun eksplisit tertera dalam Al-Qur’an
maupun as- Sunnah. Dalam Al- Qur’an tidak ditemukan secara eksplisit menyebut
tentang hukum wakaf, namun secara umum memerintahkan Allah memerintahkan
hambaNya untuk menafkahkan hartanya dijalan Allah.
a.
Dasar
Hukum Wakaf dalam Al Qur’an
“Hai
orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa
yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(Q.S. al-Baqarah (2): 261)“Barang
siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, Allah akan
melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala
yang banyak.” (Q.S. Al-Hadid:11)
Umar
bin Khaththab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah “berinfak
di jalan Allah”. Ada pula yang mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah “memberi
nafkah kepada keluarga”. Yang tepat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Katsir, bahwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah “berinfak di jalan Allah,
secara umum (baik itu di jalan Allah atau menafkahi keluarga), dengan niat yang
ikhlas dan tekad yang jujur”.
b.
Dasar Hukum Wakaf dalam as-Sunnah
Sesunggguhnya Umar bin Khathab
mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Lalu dia datang menjumpai Rasulullah untuk
meminta saran mengenai kebun pembagian itu. Lalu dia berkata,”Wahai,
Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Sungguh belum
pernah aku memiliki harta yang lebih aku sukai daripada tanah ini. Maka, apa
yang engkau perintahkan kepadaku dengan harta ini? Lalu Beliau bersabda,”Jika
engkau menghendaki, peliharalah kebun itu dan engkau shadaqohkan buahnya. Dia
berkata: Lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah itu tidak dijual,
tidak dihadiahkan dan tidak boleh diwaris. Lalu Umar menyedahkannya kepada
fuqoro’, kerabatnya, untuk memerdekakan budak, untuk fi sabilillah, untuk
membantu ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. [HR Bukhari, Kitabusy Syurut, no.
2532].
Jika
seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara
(yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”
(HR. Muslim no. 1631)
C.
Peraturan Perwakafan di Indonesia
Peraturan tentang wakaf di Indonesia
sudah ada sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang tiga abad yang
lalu, maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai
persada nusantara Indonesia. Dengan berdirinya Priesterrad (Rad Agama /
Peradilan Agama) berdasarkan Staatsblad Nomor 152 pada tahun 1882, maka dalam
praktek yang berlaku, masalah wakaf menjadi salah satu wewenangnya, di samping
masalah perkawinan, waris, hibah, shadaqah dan hal-hal lain yang dipandang
berhubungan erat dengan agama Islam.[5] Pengakuan
Belanda ini berdasarkan kenyataan bahwa penyelesaian sengketa mengenai masalah
wakaf dan lain-lain yang berhubungan dengan hukum Islam diajukan oleh
masyarakat ke Mahkamah Syar’iyyah atau Peradilan Agama lokal dengan berbagai
nama di berbagai daerah di Indonesia.
Pada masa ini, telah dikeluarkan
berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf, antara lain :
a.
SE
Sekretaris Govememen pertama tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana
termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van
Mohammaedaansche bedehuizen.
b.
SE
Sekretaris Govememen tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 yang termuat dalam Bijblad
1931 Nomor 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammaedaansche,
Vridagdiensten en wakaf.
c.
SE
Sekretaris Govememen pertama tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana
termuat dalam Bijblad tahun 1934 Nomor 13390 tentang Toezicht van de
Regeering op mohammaedaansehe bedehuize, Vrijdag diensten en wakafs.
Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia
Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang dikeluarkan pada masa penjajah
Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus 1945 masih tetap
berlaku berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Maka untuk
menyesuaikan dengan Negara Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk Menteri
Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang Petunjuk-petunjuk mengenai wakaf,
menjadi wewenang Bagian D (Ibadah Sosial), Jawatan Urusan Agama, dan pada
tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan SE Nomor 5/D/1959 tentang Prosedur
Perwakafan Tanah.[6]
Dalam rangka penertiban dan pembaharuan
sistem Hukum Agraria, masalah wakaf mendapat perhatian yang lebih dari
pemerintah nasional, antara lain melalui Departemen Agama RI. Selama lebih tiga
puluh tahun sejak tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai Undang-undang,
Peraturana Pemerintah, Peraturan Menteri, Insturksi Menetri / Gebernur dan
lain-lain yang berhubungan karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960, yang pada intinya menyatakan benda wakaf adalah hukum agama yang
diakui oleh hukum adat di Indonesia, di samping kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf)
adalah salah satu sumber komplementer hukum Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat
(1) UU yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah untuk kepelruan
suci dan sosial. Wakaf adalah salah satu lembaga keagamaan dan sosial yang
diakui dan dilindungi oleh Undang-undang ini.
Sebagaimana yang
diketahui peraturan tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi
kebutuhan maupun dapat memberikan kepastian hukum, dari sebab itulah seuai
dengan ketentuan pasal 49 ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik. Dengan berlakunya peraturan ini maka semua peraturan perundang tentang
perwakafan sebelumnya yang bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini
dinyatakan tidak berlaku.
Dalam rangka
mengamankan, mengatur dan mengelola tanah wakaf secara lebih baik maka
pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
yang di dalamnya juga mengatur masalah wakaf, sehingga setelah munculnya Inpres
ini, kondisi wakaf lebih terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan
dikembangkan secara optimal.
Pada tanggal 11 Mei
2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash
wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin
kelestariannya. Dan atas dukungan political will Pemerintah secara penuh
pada tanggal 27 Oktober 20014 pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 Pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf), pada tanggal 13 Juli 2007 telah terbit
Kepres No.75/M Tahun 2007 dan terbentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang
diketuai oleh KH Tholhah Hasan, Badan
Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga negara independen yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Badan ini dibentuk
dalam rangka mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia. Badan
Wakaf Indonesia selaku Badan Wakaf
Nasional membentuk beberapa peraturan terkait wakaf sebagai berikut :
1.
Peraturan BWI Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf.
2.
Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang.
3.
Peraturan BWI Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Tata Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak Bergerak
Berupa Tanah.
4.
Peraturan BWI Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Pendaftaran Nazhir Wakaf Uang.
5.
Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Penyusunan Rekomendasi Terhadap Permohonan Penukaran/Perubahan Status
Harta Benda Wakaf.
6.
Peraturan BWI Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Perwakilan Badan Wakaf Indonesia.[7]
Pada tanggal 29 Juli 2009 Menteri
Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 4 Tahun 2009
tentang Administrasi Wakaf Uang.
Adanya peraturan perundang-undangan
ini menunjukkan (politik will) kebijakan
pemerintah dalam hal Wakaf, dengan peraturan perundang-undangan yang ada
memberikan payung hukum perwakafan di Indonesia sehingga wakaf dapat dapat
berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda untuk kepentingan
ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
D. Implementasi
Perwakafan di Indonesia
Dalam implementasinya di Indonesia
terdapat institusi pengelola wakaf yang dianggap berhasil mengembangkan harta
wakaf menurut Badan Wakaf Indonesia salah satunya Yayasan Badan Wakaf Sultan
Agung Semarang.
Namun Meski Undang-Undang Wakaf
sudah terbit lebih dari 10 tahun yang lalu, tepatnya pada 2004, pemahaman
masyarakat terhadap wakaf dirasa masih kurang maksimal. Data dari Kementerian
Agama tahun 2012 menunjukkan, aset wakaf nasional mencapai 3,49 miliar meter
persegi tanah, pada 420.003 titik di seluruh nusantara. Bila dirupiahkan,
dengan asumsi harga tanah hanya Rp100 ribu per meter persegi, nilainya mencapai
Rp349 triliun.
Dengan disahkannya Undang-Undang
Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 yang mengakui keabsahan wakaf uang, Indonesia berpotensi
mempunyai aset wakaf uang yang besar. Dengan asumsi 100 juta penduduk muslim
Indonesia mau berwakaf Rp100 ribu per bulan, maka wakaf uang yang bisa
dikumpulkan per tahun mencapai Rp120 triliun per tahun. Bayangkan berapa besar
keuntungan yang bisa diperoleh jika uang sebanyak itu diinvestasikan dan dengan
pengelolaan wakaf yang baik dana tersebut dapat bermanfaat untuk kesejahteraan
umum.
Namun faktanya, aset tanah wakaf
yang 420.003 titik itu masih sangat sedikit yang dikelola secara produktif.
Sebagian besar masih berupa wakaf konsumtif, yang masih menengadahkan tangan
untuk menutupi biaya operasionalnya. Ini sungguh sangat disayangkan. Aset
sedemikian besar itu sebagian besar hanya dibuat untuk mendirikan bangunan
masjid, sekolah, kuburan, dan bangunan-bangunan yang lain. Belum terpikir oleh
para nazhir itu bagaimana mengupayakan aset wakaf itu tidak hanya bermanfaat
secara moral, tetapi juga dikelola oleh corporate profesional agar bisa
memberi keuntungan yang fantastis.
Setali tiga uang dengan wakaf
tanah, Gerakan Nasional Wakaf Uang yang dicanangkan Presiden SBY pada 8 Januari
2010 yang lalu tidak mengalami kemajuan signifikan. Potensi yang begitu besar
hingga kini baru berupa catatan di atas kertas. Realisasinya masih sangat
kecil. Dibutuhkan kerja keras dan kerja sama berbagai pihak agar masyarakat mau
berwakaf uang. Badan Wakaf Indonesia gencar melakukan sosialisasi wakaf uang
dan wakaf produktif. Namun, upaya dari BWI tidaklah cukup. Dibutuhkan dukungan
dari pihak lain, termasuk media massa.
Dari sisi aset dan potensi wakaf,
Indonesia memiliki potensi yang besar. Namun dari sisi pengelolaan dan
manajerial, kita patut prihatin. Bahkan dengan negara kecil Singapura saja,
kita masih kalah. Melalui Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) dan perusahaan
Warees Investments, yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh MUIS, umat Islam
di negeri singa itu sudah memiliki 114 ruko, 30 perumahan, dan 12 gedung
apartemen dan perkantoran. Keuntungan dari pengelolaan wakaf produktif tersebut
digunakan untuk membiayai operasional masjid, madrasah, beasiswa, dan
lain-lain. Bila dibandingkan dengan Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi,
kita malah sudah jauh tertinggal.
Agar bisa mengejar
ketertinggalan itu, kuncinya adalah wakaf produktif. Kita harus memproduktifkan
semua aset wakaf yang kita miliki, terutama harus dimulai dari aset yang
lokasinya strategis. Namun, untuk itu diperlukan langkah-langkah.
Langkah pertama,
melakukan pendataan seakurat mungkin terhadap aset wakaf di seluruh penjuru
nusantara. Pendataan ini penting untuk memetakan kondisi tiap-tiap aset. Dari
pendataan itu bisa diketahui berapa tanah wakaf yang belum bersertifikat,
berapa lokasi yang bisa diproduktifkan, berapa lokasi yang harus
diprioritaskan, dan seterusnya. Maka, Pemerintah harus memberikan anggaran yang
cukup untuk langkah yang tidak populer tapi strategis ini.
Kedua,
sertifikasi tanah wakaf. Semua tanah wakaf mutlak harus disertifikat-wakafkan
agar keberadaannya mendapat kepastian hukum. Agar keutuhannya bisa terjamin
sepanjang masa. Ini sesuai dengan maksud dari wakaf itu sendiri, yaitu menjaga
keutuhannya.
Ketiga,
memproduktifkan 10 aset wakaf paling strategis di tiap kota besar, sebagai
langkah awal dan untuk menjadi percontohan. Mengapa di kota besar? Karena
aset-aset wakaf di kota-kota besar bernilai jual tinggi, bisa menjadi ikon umat
Islam, dan keberadaan sudah kritis karena terus diincar oleh para pemodal
besar. Bahkan sebagian sudah ada yang berpindah tangan, baik melalui ruislag
ilegal maupun upaya-upaya hitam lainnya.
Keempat,
mendorong perubahan dari nazhir perorangan menjadi nazhir badan hukum. Ini
mutlak diperlukan untuk memudahkan pengembangan dan pengelolaan wakaf produktif.
Sebab, kemampuan perorangan tidak bisa disejajarkan dengan kemampuan badan
hukum.
Kelima,
menguatkan internal kelembagaan nazhir wakaf, dari nazhir tradisional menjadi
nazhir profesional. Penguatan ini penting karena tugas nazhir dalam skema wakaf
produktif cukup berat. Apalagi uang yang dikelola pun sangat besar. Selain agar
bisa mempunyai daya tawar yang setara dengan investor, penguatan internal ini
bertujuan agar pendistribusian hasil pengelolaan wakaf produktif kepada mauquf
alaih bisa berjalan dengan baik dan bersinambung.
Keenam,
nazhir menggandeng konsultan bisnis profesional berbadan hukum, desainer
bangunan, pakar manajemen, dan lain sebagainya untuk merancang tata
kelola wakaf produktif. Dengan demikian, nazhir bisa menentukan secara tepat
proyek wakaf produktif seperti apa yang cocok untuk suatu aset wakaf.
Ketujuh,
nazhir bekerjasama dengan investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri,
seperti IDB, BUMN-BUMN, bank-bank syariah, dan para pemodal besar lainnya untuk
berinvestasi dalam proyek wakaf produktif. Dalam hal ini, kita tidak meniru
MUIS yang membentuk perusahaan Warees sebagai tangan kanannya dalam mengelola
sisi bisnis dari wakaf produktif.[8]
Berbagai kasus ditemui banyak harta
wakaf yang tidak terpelihara sebagaimana semestinya, terlantar bahkan beralih
ke tangan pihak ketiga dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum. Keadaan
demikian tidak hanya disebabkan oleh kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam
mengelola, melainkan juga sikap mayarakat yang kurang peduli atau belum
memahami status benda wakaf yang seharusnya dilindungi untk kesejahteraan umum
sesuai dengn tujuan, fngsi, dan peruntukannya. Kegagalan pengelolaan wakaf
secara garis besar bisa diidentifikasikan karena.
1.
Nadzir yang tidak/kurang amanah,
sehingga dalam mengelola wakaf tidak sepenuh hati
2.
Nadzir yang tidak professional,
pengelolaan wakaf tanpa menggunakan manajemen yang baik
3.
Wakaf tidak diadministrasikan sesuai hukum
wakaf
4.
Terjadinya penyelewengan harta wakaf. [9]
Pengelolaan dan pengembangan
aset wakaf ke arah produktif sebaiknya tidak hanya menjadi perhatian para
nazhir, pemerintah daerah harus punya andil dalam mewujudkan gerakan wakaf
produktif ini. Jika para nazhir bergerak sendirian, mereka tentu merasa kesulitan
sebab kurangnya jaringan dan akses terhadap investor. Untuk itu, perlu adanya
keterlibatan kalangan eksekutif dan jugu legislatif di tingkat propinsi dan
kabupaten. Bentuk konkritnya misalnya menerbitkan peraturan daerah tentang
pemberdayaan aset wakaf secara produktif. [10]
KESIMPULAN dan SARAN
Dari
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Dalam implementasi wakaf di Indonesia terdapat beberapa institusi
pengelola wakaf yang dianggap berhasil oleh Badan Wakaf Indonesia, yang menurut
pendapat penulis yang berkecimpung dalam salah satu pengelola wakaf yang
berhasil yaitu YBWSA, keberhasilan itu dikarenakan nadzir memahami bagaimana
mengelola wakaf menurut syariat dan memiliki manajemen yang baik dalam
pengelolaanya.
2.
Potensi Wakaf di Indonesia besar, namun dari
sisi pengelolaan dan manajerial masih perlu banyak belajar dari Pengelola Wakaf
di Indonesia dan Pengelola Wakaf Negara
lain yang memiliki manajerial yang baik, disamping manajerial yang belum
seluruhnya baik pemahaman masyarakat akan wakaf perlu ditingkatkan, dengan
pemahaman yang baik.
3.
Pengelolaan Wakaf di Indonesia belum
seluruhnya mengalami keberhasilan dikarenakan nadzir yang tidak/kurang amanah
dan belum memahami betul tentang pengelolaan wakaf sehingga dalam mengelola
wakaf tidak sepenuh hati dan tidak profesional
4.
Norma Hukum terkait Wakaf sudah ada
secara tertulis dalam Undang-undang, Kepres, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Menteri, Peraturan BWI ini membuktikan bahwa Politik Hukum di Indonesia sudah
baik, namun perlu adanya hierarki regulasi kebawah yang jelas, yang dimaksud
disini adalah perda mengenai wakaf agar pengelolaannya di daerah semakin baik
dan bermanfaat bagi kesejahteraan ummat, karena yang paling dekat dengan
masyarakat di daerah adalah pemerintah daerah.
5.
Perlu adanya Pelatihan Nadzir didaerah
dan kepatuhan terhadap produk hukum yang ada mengenai wakaf perlu dilaksanakan.
DAFTAR ISI
Al Qur’an
Al Hadist
Achmad Djunaedi, Memproduktikan Aset Wakaf Nasional, 6 November 2013
Departemen
Agama, Bunga Rampai Perwakafan, Ditjen Bimas Islam, Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, Jakarta, 2006.
Didiek
Ahmad Supadie. Wakaf menyejahterakan
umat, Rekam Jejak Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang dalam mengelola
wakaf (Unissula Press: 2015) 31-32
Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Kementerian Agama RI tertanggal 14 Maret 2014
http://bwi.or.id/index.php/in/regulasi/peraturan-badan-wakaf-indonesia
, 2 Agustus 2015
http://childrenofsyariah.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, 1 Agustus 2015
Imran, Perda Pemberdayaan Wakaf Produktif. 5 september 2011 dalam http://bwi.or.id/
Nazhir Gagas 12 Rekomendasi Wakaf
Produktif, Rekomendasi Workshop Nadzir Profesional, Badan Wakaf Indonesia,
Hotel Sofyan, Jakarta, 5-7 Agustus 2008
Notosusanto,
Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura, Yogyakarta, tanpa penerbit,
1953, hlm. 77
[1]Nazhir
Gagas 12 Rekomendasi Wakaf Produktif, Rekomendasi Workshop Nadzir Profesional,
Badan Wakaf Indonesia, Hotel Sofyan, Jakarta, 5-7 Agustus 2008
[3]
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama RI tertanggal 14 Maret 2014
[4]
Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, Drs.MM, Wakaf
menyejahterakan umat, Rekam Jejak Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang
dalam mengelola wakaf (Unissula Press: 2015) 31-32
[5]
Notosusanto, Peradilan Agama Islam
di Djawa dan Madura, Yogyakarta, tanpa penerbit, 1953, hlm. 77
[6]
Departemen
Agama, Bunga Rampai Perwakafan, Ditjen Bimas Islam, Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Jakarta, 2006.
[7]
http://bwi.or.id/index.php/in/regulasi/peraturan-badan-wakaf-indonesia , 2
Agustus 2015
[8]
Drs. Achmad Djunaedi, MBA, Memproduktikan
Aset Wakaf Nasional, 6 November 2013
[9]
Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, Drs.MM, Wakaf
menyejahterakan umat, Rekam Jejak Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang
dalam mengelola wakaf (Unissula Press: 2015) 67
[10]
Imran, Perda Pemberdayaan Wakaf Produktif.
5 september 2011 dalam http://bwi.or.id/