Translate

Total Tayangan Halaman

Followers

Rabu, 12 Agustus 2015

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF


LATAR BELAKANG
Wakaf merupakan ibadah maliyah yang erat kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan umat. Ia merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi. Dalam sejarah, wakaf telah memiliki peran yang sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, kegiatan keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan serta peradaban manusia.[1] Dalam prinsip Islam pemecahan masalah kemiskinan senantiasa mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil, sebab hakikat permasalahan kemiskinan yang melanda umat manusia adalah berasal dari distribusi harta yang tidak merata di tengah-tengah masyarakat, maka dalam menyelesaikan masalah tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengumpulan zakat, infak, sedekah dan wakaf yang pendistribusiannya dilakukan secara terstruktur dan profesional. Sehingga distribusi kekayaan dalam bentuk tranfer payment dapat terealisasi secara efektif. Besarnya potensi jumlah harta wakaf di Indonesia memberikan harapan bagi pembenahan ekonomi umat. Sebab  kekayaan tersebut dapat dijadikan modal pembangunan sosial ekonomi masyarakat dalam mencapai titik equalibrium ekonomi dalam mencapai tingkat kesejahteraan umat.  Konteks wakaf  hanya sebagai aktivitas ibadah ilahiah perlu direvisi kembali dengan melihat esensi dari potensi yang dimiliki harta wakaf dalam peningkatan kesejahteraan umat.[2] Menurut The Pew Forum on Religion & Public Life pada 2010 Indonesia disebut sebagai tanah dengan populasi Muslim tertinggi. Persentase Muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia. Dari 205 juta penduduk Indonesia, dilaporkan sedikitnya 88,1 persen beragama Islam.
Indonesia dengan jumlah penduduk umat islam terbesar di dunia, dilihat dari jumlah wakaf tanah di Indonesia mencapai 4.142.464.287,906 M² yang tersebar di 435­­­­.395 titik lokasi di Indonesia.[3]Dalam rangka meningkatkan daya guna wakaf bagi kesejahteraan umat dukungan politik dari pemerintah, manurut penulis perlu mengkaji implementasi pelaksanaan Undang Undang Republik Indonesia NO 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah Pengertian Wakaf dan Dasar Hukumnya?
2.      Bagaimana Norma atau Peraturan  Perwakafan Di Indonesia?
3.      Bagaimana Implementasi Perwakafan Di Indonesia?
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). 
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya. 
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Definisi atau pengertian wakaf yang dituangkan dalam peraturan perundang-undanganpemerintah Republik Indonesia secara kronologis ditampilkan dibawah ini :
1.      Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 1997 tentang perwakaafan tanah milik disebutkan bahwa wakaf adalah pebuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan meembagikannnya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam
2.      Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam merumuskan definisi wakaf hampir sama dengan rumusan PP Nomor 28 Tahun 1997 tersebut di atas melalui pasal 215 ayat (1) menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badab hukum yang memisahkan sebagian benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan wakif dijelaskan dalam pasal yang sama ayat (2) adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
3.      Pengertian Wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Sementara itu pada pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa wakif adalah pihak yang mewakafkan harta bendanya.
4.      Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[4]
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat dirumuskan bahwa wakaf perbuatan hukum oleh wakif (pemberi wakaf) untuk menyerahkan sebagian harta benda miliknya baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, tanpa merusak atau menghabiskan substansi harta bendanya, untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah, kemaslahatan umat, untuk kesejahteraan umum menurut ketentuan syariat dan bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam.
B.     Dasar Hukum Wakaf
Dasar Hukum wakaf baik secara implisit maupun eksplisit tertera dalam Al-Qur’an maupun as- Sunnah. Dalam Al- Qur’an tidak ditemukan secara eksplisit menyebut tentang hukum wakaf, namun secara umum memerintahkan Allah memerintahkan hambaNya untuk menafkahkan hartanya dijalan Allah.
a.       Dasar Hukum Wakaf dalam Al Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267) 
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92) 
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)“Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. Al-Hadid:11)
Umar bin Khaththab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah “berinfak di jalan Allah”. Ada pula yang mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah “memberi nafkah kepada keluarga”. Yang tepat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, bahwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah “berinfak di jalan Allah, secara umum (baik itu di jalan Allah atau menafkahi keluarga), dengan niat yang ikhlas dan tekad yang jujur”.
b.      Dasar Hukum Wakaf dalam as-Sunnah
Sesunggguhnya Umar bin Khathab mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Lalu dia datang menjumpai Rasulullah untuk meminta saran mengenai kebun pembagian itu. Lalu dia berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Sungguh belum pernah aku memiliki harta yang lebih aku sukai daripada tanah ini. Maka, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan harta ini? Lalu Beliau bersabda,”Jika engkau menghendaki, peliharalah kebun itu dan engkau shadaqohkan buahnya. Dia berkata: Lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah itu tidak dijual, tidak dihadiahkan dan tidak boleh diwaris. Lalu Umar menyedahkannya kepada fuqoro’, kerabatnya, untuk memerdekakan budak, untuk fi sabilillah, untuk membantu ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. [HR Bukhari, Kitabusy Syurut, no. 2532].
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
C.     Peraturan Perwakafan di Indonesia
Peraturan tentang wakaf di Indonesia sudah ada sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang tiga abad yang lalu, maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai persada nusantara Indonesia. Dengan berdirinya Priesterrad (Rad Agama / Peradilan Agama) berdasarkan Staatsblad Nomor 152 pada tahun 1882, maka dalam praktek yang berlaku, masalah wakaf menjadi salah satu wewenangnya, di samping masalah perkawinan, waris, hibah, shadaqah dan hal-hal lain yang dipandang berhubungan erat dengan agama Islam.[5] Pengakuan Belanda ini berdasarkan kenyataan bahwa penyelesaian sengketa mengenai masalah wakaf dan lain-lain yang berhubungan dengan hukum Islam diajukan oleh masyarakat ke Mahkamah Syar’iyyah atau Peradilan Agama lokal dengan berbagai nama di berbagai daerah di Indonesia.
Pada masa ini, telah dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf, antara lain :
a. SE Sekretaris Govememen pertama tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Mohammaedaansche bedehuizen.
b.    SE Sekretaris Govememen tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 yang termuat dalam Bijblad 1931 Nomor 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammaedaansche, Vridagdiensten en wakaf.
c.    SE Sekretaris Govememen pertama tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1934 Nomor 13390 tentang Toezicht van de Regeering op mohammaedaansehe bedehuize, Vrijdag diensten en wakafs.
Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang dikeluarkan pada masa penjajah Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus 1945 masih tetap berlaku berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.  Maka untuk menyesuaikan dengan Negara Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk Menteri Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang Petunjuk-petunjuk mengenai wakaf, menjadi wewenang Bagian D (Ibadah Sosial), Jawatan Urusan Agama, dan pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan SE Nomor 5/D/1959 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.[6]
Dalam rangka penertiban dan pembaharuan sistem Hukum Agraria, masalah wakaf mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah nasional, antara lain melalui Departemen Agama RI. Selama lebih tiga puluh tahun sejak tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai Undang-undang, Peraturana Pemerintah, Peraturan Menteri, Insturksi Menetri / Gebernur dan lain-lain yang berhubungan karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang pada intinya menyatakan benda wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat di Indonesia, di samping kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf) adalah salah satu sumber komplementer hukum Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat (1) UU yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah untuk kepelruan suci dan sosial. Wakaf adalah salah satu lembaga keagamaan dan sosial yang diakui dan dilindungi oleh Undang-undang ini.
Sebagaimana yang diketahui peraturan tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun dapat memberikan kepastian hukum, dari sebab itulah seuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan berlakunya peraturan ini maka semua peraturan perundang tentang perwakafan sebelumnya yang bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku.
Dalam rangka mengamankan, mengatur dan mengelola tanah wakaf secara lebih baik maka pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga mengatur masalah wakaf, sehingga setelah munculnya Inpres ini, kondisi wakaf lebih terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dan atas dukungan political will Pemerintah secara penuh pada tanggal 27 Oktober 20014 pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf), pada tanggal 13 Juli 2007 telah terbit Kepres No.75/M Tahun 2007 dan terbentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang diketuai oleh KH Tholhah Hasan, Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Badan ini dibentuk dalam rangka mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia. Badan Wakaf  Indonesia selaku Badan Wakaf Nasional membentuk beberapa peraturan terkait wakaf sebagai berikut :
1.      Peraturan BWI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf.
2.      Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang.
3.      Peraturan BWI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa Tanah.
4.      Peraturan BWI Nomor 2 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Nazhir Wakaf Uang.
5.      Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Penyusunan Rekomendasi Terhadap Permohonan Penukaran/Perubahan Status Harta Benda Wakaf.
6.      Peraturan BWI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perwakilan Badan Wakaf Indonesia.[7]
Pada tanggal 29 Juli 2009 Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Wakaf Uang.
Adanya peraturan perundang-undangan ini menunjukkan (politik will) kebijakan pemerintah dalam hal Wakaf, dengan peraturan perundang-undangan yang ada memberikan payung hukum perwakafan di Indonesia sehingga wakaf dapat dapat berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
D.    Implementasi Perwakafan di Indonesia
Dalam implementasinya di Indonesia terdapat institusi pengelola wakaf yang dianggap berhasil mengembangkan harta wakaf menurut Badan Wakaf Indonesia salah satunya Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang.
Namun Meski Undang-Undang Wakaf sudah terbit lebih dari 10 tahun yang lalu, tepatnya pada 2004, pemahaman masyarakat terhadap wakaf dirasa masih kurang maksimal. Data dari Kementerian Agama tahun 2012 menunjukkan, aset wakaf nasional mencapai 3,49 miliar meter persegi tanah, pada 420.003 titik di seluruh nusantara. Bila dirupiahkan, dengan asumsi harga tanah hanya Rp100 ribu per meter persegi, nilainya mencapai Rp349 triliun.
Dengan disahkannya Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 yang mengakui keabsahan wakaf uang, Indonesia berpotensi mempunyai aset wakaf uang yang besar. Dengan asumsi 100 juta penduduk muslim Indonesia mau berwakaf Rp100 ribu per bulan, maka wakaf uang yang bisa dikumpulkan per tahun mencapai Rp120 triliun per tahun. Bayangkan berapa besar keuntungan yang bisa diperoleh jika uang sebanyak itu diinvestasikan dan dengan pengelolaan wakaf yang baik dana tersebut dapat bermanfaat untuk kesejahteraan umum.
Namun faktanya, aset tanah wakaf yang 420.003 titik itu masih sangat sedikit yang dikelola secara produktif. Sebagian besar masih berupa wakaf konsumtif, yang masih menengadahkan tangan untuk menutupi biaya operasionalnya. Ini sungguh sangat disayangkan. Aset sedemikian besar itu sebagian besar hanya dibuat untuk mendirikan bangunan masjid, sekolah, kuburan, dan bangunan-bangunan yang lain. Belum terpikir oleh para nazhir itu bagaimana mengupayakan aset wakaf itu tidak hanya bermanfaat secara moral, tetapi juga dikelola oleh corporate profesional agar bisa memberi keuntungan yang fantastis.
Setali tiga uang dengan wakaf tanah, Gerakan Nasional Wakaf Uang yang dicanangkan Presiden SBY pada 8 Januari 2010 yang lalu tidak mengalami kemajuan signifikan. Potensi yang begitu besar hingga kini baru berupa catatan di atas kertas. Realisasinya masih sangat kecil. Dibutuhkan kerja keras dan kerja sama berbagai pihak agar masyarakat mau berwakaf uang. Badan Wakaf Indonesia gencar melakukan sosialisasi wakaf uang dan wakaf produktif. Namun, upaya dari BWI tidaklah cukup. Dibutuhkan dukungan dari pihak lain, termasuk media massa.
Dari sisi aset dan potensi wakaf, Indonesia memiliki potensi yang besar. Namun dari sisi pengelolaan dan manajerial, kita patut prihatin. Bahkan dengan negara kecil Singapura saja, kita masih kalah. Melalui Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) dan perusahaan Warees Investments, yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh MUIS, umat Islam di negeri singa itu sudah memiliki 114 ruko, 30 perumahan, dan 12 gedung apartemen dan perkantoran. Keuntungan dari pengelolaan wakaf produktif tersebut digunakan untuk membiayai operasional masjid, madrasah, beasiswa, dan lain-lain. Bila dibandingkan dengan Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi, kita malah sudah jauh tertinggal.
Agar bisa mengejar ketertinggalan itu, kuncinya adalah wakaf produktif. Kita harus memproduktifkan semua aset wakaf yang kita miliki, terutama harus dimulai dari aset yang lokasinya strategis. Namun, untuk itu diperlukan langkah-langkah.
Langkah pertama, melakukan pendataan seakurat mungkin terhadap aset wakaf di seluruh penjuru nusantara. Pendataan ini penting untuk memetakan kondisi tiap-tiap aset. Dari pendataan itu bisa diketahui berapa tanah wakaf yang belum bersertifikat, berapa lokasi yang bisa diproduktifkan, berapa lokasi yang harus diprioritaskan, dan seterusnya. Maka, Pemerintah harus memberikan anggaran yang cukup untuk langkah yang tidak populer tapi strategis ini.
Kedua, sertifikasi tanah wakaf. Semua tanah wakaf mutlak harus disertifikat-wakafkan agar keberadaannya mendapat kepastian hukum. Agar keutuhannya bisa terjamin sepanjang masa. Ini sesuai dengan maksud dari wakaf itu sendiri, yaitu menjaga keutuhannya.
Ketiga, memproduktifkan 10 aset wakaf paling strategis di tiap kota besar, sebagai langkah awal dan untuk menjadi percontohan. Mengapa di kota besar? Karena aset-aset wakaf di kota-kota besar bernilai jual tinggi, bisa menjadi ikon umat Islam, dan keberadaan sudah kritis karena terus diincar oleh para pemodal besar. Bahkan sebagian sudah ada yang berpindah tangan, baik melalui ruislag ilegal maupun upaya-upaya hitam lainnya.
Keempat, mendorong perubahan dari nazhir perorangan menjadi nazhir badan hukum. Ini mutlak diperlukan untuk memudahkan pengembangan dan pengelolaan wakaf produktif. Sebab, kemampuan perorangan tidak bisa disejajarkan dengan kemampuan badan hukum.
Kelima, menguatkan internal kelembagaan nazhir wakaf, dari nazhir tradisional menjadi nazhir profesional. Penguatan ini penting karena tugas nazhir dalam skema wakaf produktif cukup berat. Apalagi uang yang dikelola pun sangat besar. Selain agar bisa mempunyai daya tawar yang setara dengan investor, penguatan internal ini bertujuan agar pendistribusian hasil pengelolaan wakaf produktif kepada mauquf alaih bisa berjalan dengan baik dan bersinambung.
Keenam, nazhir menggandeng konsultan bisnis profesional berbadan hukum, desainer bangunan,  pakar manajemen, dan lain sebagainya untuk merancang tata kelola wakaf produktif. Dengan demikian, nazhir bisa menentukan secara tepat proyek wakaf produktif seperti apa yang cocok untuk suatu aset wakaf.
Ketujuh, nazhir bekerjasama dengan investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti IDB, BUMN-BUMN, bank-bank syariah, dan para pemodal besar lainnya untuk berinvestasi dalam proyek wakaf produktif. Dalam hal ini, kita tidak meniru MUIS yang membentuk perusahaan Warees sebagai tangan kanannya dalam mengelola sisi bisnis dari wakaf produktif.[8]
Berbagai kasus ditemui banyak harta wakaf yang tidak terpelihara sebagaimana semestinya, terlantar bahkan beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum. Keadaan demikian tidak hanya disebabkan oleh kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola, melainkan juga sikap mayarakat yang kurang peduli atau belum memahami status benda wakaf yang seharusnya dilindungi untk kesejahteraan umum sesuai dengn tujuan, fngsi, dan peruntukannya. Kegagalan pengelolaan wakaf secara garis besar bisa diidentifikasikan karena.
1.      Nadzir yang tidak/kurang amanah, sehingga dalam mengelola wakaf tidak sepenuh hati
2.      Nadzir yang tidak professional, pengelolaan wakaf tanpa menggunakan manajemen yang baik
3.      Wakaf tidak diadministrasikan sesuai hukum wakaf
4.      Terjadinya penyelewengan harta wakaf. [9]
Pengelolaan dan pengembangan aset wakaf ke arah produktif sebaiknya tidak hanya menjadi perhatian para nazhir, pemerintah daerah harus punya andil dalam mewujudkan gerakan wakaf produktif ini. Jika para nazhir bergerak sendirian, mereka tentu merasa kesulitan sebab kurangnya jaringan dan akses terhadap investor. Untuk itu, perlu adanya keterlibatan kalangan eksekutif dan jugu legislatif di tingkat propinsi dan kabupaten. Bentuk konkritnya misalnya menerbitkan peraturan daerah tentang pemberdayaan aset wakaf secara produktif. [10]
KESIMPULAN dan SARAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Dalam implementasi wakaf  di Indonesia terdapat beberapa institusi pengelola wakaf yang dianggap berhasil oleh Badan Wakaf Indonesia, yang menurut pendapat penulis yang berkecimpung dalam salah satu pengelola wakaf yang berhasil yaitu YBWSA, keberhasilan itu dikarenakan nadzir memahami bagaimana mengelola wakaf menurut syariat dan memiliki manajemen yang baik dalam pengelolaanya.
2.      Potensi Wakaf di Indonesia besar, namun dari sisi pengelolaan dan manajerial masih perlu banyak belajar dari Pengelola Wakaf di Indonesia dan Pengelola Wakaf  Negara lain yang memiliki manajerial yang baik, disamping manajerial yang belum seluruhnya baik pemahaman masyarakat akan wakaf perlu ditingkatkan, dengan pemahaman yang baik.
3.      Pengelolaan Wakaf di Indonesia belum seluruhnya mengalami keberhasilan dikarenakan nadzir yang tidak/kurang amanah dan belum memahami betul tentang pengelolaan wakaf sehingga dalam mengelola wakaf tidak sepenuh hati dan tidak profesional
4.      Norma Hukum terkait Wakaf sudah ada secara tertulis dalam Undang-undang, Kepres, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan BWI ini membuktikan bahwa Politik Hukum di Indonesia sudah baik, namun perlu adanya hierarki regulasi kebawah yang jelas, yang dimaksud disini adalah perda mengenai wakaf agar pengelolaannya di daerah semakin baik dan bermanfaat bagi kesejahteraan ummat, karena yang paling dekat dengan masyarakat di daerah adalah pemerintah daerah.
5.      Perlu adanya Pelatihan Nadzir didaerah dan kepatuhan terhadap produk hukum yang ada mengenai wakaf perlu dilaksanakan.









DAFTAR ISI
Al Qur’an
Al Hadist
Achmad Djunaedi, Memproduktikan Aset Wakaf Nasional, 6 November 2013
Departemen Agama, Bunga Rampai Perwakafan, Ditjen Bimas Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Jakarta, 2006.

Didiek Ahmad Supadie. Wakaf menyejahterakan umat, Rekam Jejak Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang dalam mengelola wakaf (Unissula Press: 2015) 31-32
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama RI tertanggal 14 Maret 2014
http://bwi.or.id/index.php/in/regulasi/peraturan-badan-wakaf-indonesia , 2 Agustus 2015


Imran, Perda Pemberdayaan Wakaf Produktif. 5 september 2011 dalam http://bwi.or.id/
Nazhir Gagas 12 Rekomendasi Wakaf Produktif, Rekomendasi Workshop Nadzir Profesional, Badan Wakaf Indonesia, Hotel Sofyan, Jakarta, 5-7 Agustus 2008

Notosusanto, Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura, Yogyakarta, tanpa penerbit, 1953, hlm. 77



[1]Nazhir Gagas 12 Rekomendasi Wakaf Produktif, Rekomendasi Workshop Nadzir Profesional, Badan Wakaf Indonesia, Hotel Sofyan, Jakarta, 5-7 Agustus 2008
[3] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama RI tertanggal 14 Maret 2014
[4] Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, Drs.MM, Wakaf menyejahterakan umat, Rekam Jejak Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang dalam mengelola wakaf (Unissula Press: 2015) 31-32
[5] Notosusanto, Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura, Yogyakarta, tanpa penerbit, 1953, hlm. 77
[6] Departemen Agama, Bunga Rampai Perwakafan, Ditjen Bimas Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Jakarta, 2006.
[7] http://bwi.or.id/index.php/in/regulasi/peraturan-badan-wakaf-indonesia , 2 Agustus 2015
[8] Drs. Achmad Djunaedi, MBA, Memproduktikan Aset Wakaf Nasional, 6 November 2013
[9] Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, Drs.MM, Wakaf menyejahterakan umat, Rekam Jejak Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang dalam mengelola wakaf (Unissula Press: 2015) 67
[10] Imran, Perda Pemberdayaan Wakaf Produktif. 5 september 2011 dalam http://bwi.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar