Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328).
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328).
Sedangkan
dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian
wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang
ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda
(al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada
siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203).
Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap
tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih
menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke
atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta
yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada
orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai
dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya
menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa
memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan
hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang
dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta
yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian
harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara
berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana,
yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan
(Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut
undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf
diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.
Definisi atau pengertian wakaf yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Republik Indonesia
secara kronologis ditampilkan dibawah ini :
1.
Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 1997 tentang perwakaafan tanah milik disebutkan
bahwa wakaf adalah pebuatan hukum
seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang
berupa tanah milik dan meembagikannnya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam
2.
Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dalam merumuskan definisi wakaf
hampir sama dengan rumusan PP Nomor 28 Tahun 1997 tersebut di atas melalui
pasal 215 ayat (1) menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orang atau badab hukum yang memisahkan sebagian benda miliknya
dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan wakif dijelaskan dalam
pasal yang sama ayat (2) adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum
yang mewakafkan benda miliknya.
3.
P Pengertian Wakaf
dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf sebagaimana tertuang
dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Sementara itu pada pasal 1 ayat (2)
disebutkan bahwa wakif adalah pihak yang
mewakafkan harta bendanya.
4.
d Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[1]
d Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[1]
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat dirumuskan bahwa wakaf perbuatan hukum oleh wakif (pemberi wakaf) untuk menyerahkan sebagian harta benda miliknya baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, tanpa merusak atau menghabiskan substansi harta bendanya, untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah, kemaslahatan umat, untuk kesejahteraan umum menurut ketentuan syariat dan bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam.
Dasar Hukum Wakaf
Dasar Hukum wakaf baik
secara implisit maupun eksplisit tertera dalam Al-Qur’an maupun as- Sunnah.
Dalam Al- Qur’an tidak ditemukan secara eksplisit menyebut tentang hukum wakaf,
namun secara umum memerintahkan Allah memerintahkan hambaNya untuk menafkahkan
hartanya dijalan Allah.
1.
Dasar Hukum Wakaf dalam Al Qur’an
“Hai
orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa
yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(Q.S. al-Baqarah (2): 261)“Barang
siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, Allah akan
melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala
yang banyak.” (Q.S. Al-Hadid:11)
Umar
bin Khaththab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah “berinfak
di jalan Allah”. Ada pula yang mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah “memberi
nafkah kepada keluarga”. Yang tepat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Katsir, bahwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah “berinfak di jalan Allah,
secara umum (baik itu di jalan Allah atau menafkahi keluarga), dengan niat yang
ikhlas dan tekad yang jujur”.
2.
Dasar Hukum Wakaf
dalam as-Sunnah
Sesunggguhnya Umar bin Khathab mendapatkan
bagian tanah di Khaibar. Lalu dia datang menjumpai Rasulullah untuk meminta
saran mengenai kebun pembagian itu. Lalu dia berkata,”Wahai, Rasulullah.
Sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Sungguh belum pernah aku
memiliki harta yang lebih aku sukai daripada tanah ini. Maka, apa yang engkau
perintahkan kepadaku dengan harta ini? Lalu Beliau bersabda,”Jika engkau
menghendaki, peliharalah kebun itu dan engkau shadaqohkan buahnya. Dia berkata:
Lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah itu tidak dijual, tidak
dihadiahkan dan tidak boleh diwaris. Lalu Umar menyedahkannya kepada fuqoro’,
kerabatnya, untuk memerdekakan budak, untuk fi sabilillah, untuk membantu ibnu
sabil dan untuk menjamu tamu. [HR Bukhari, Kitabusy Syurut, no. 2532].
Jika seseorang
meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu):
sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
Wakaf Dalam Sejarah Islam
a.
Wakaf
Pada Masa Rosulullah SAW
Dalam
sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf
disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua
pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’)
tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian
pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah
Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Pendapat
ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin
Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar
bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam?
Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor
mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah
SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di
Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon
lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali
melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata: Dari Ibnu Umar ra, berkata :
“Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra,
menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah
SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik
itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda:
“Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan
(hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar
berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang
fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak
dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara
yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta” (HR.Muslim).
Kemudian
syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu
Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya
disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan
sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang
datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib
mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang
populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh
Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah
SAW. [2]
b.
Wakaf
Pada Masa Dinasti- Dinasti Islam
Praktek
wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua
orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun
lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji
para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat
kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur
pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi
masyarakat.
Wakaf
pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan
kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang
pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf,
maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian
dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan
menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu
atau keluarga. Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah
bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat
perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga
wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga
wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir,
bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan
lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah
Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada
yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada
masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr
al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.
Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang
searah dengan pengaturan administrasinya. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir
perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah
pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik
negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia
bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan
keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah
sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih
berbeda pendapat di antara para ulama.
Pertama
kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan
sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan
oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada
ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz),
dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta
yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin
Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa
desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah
al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model
mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab
Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian
dan pulau al-Fil.
Dalam
rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin
al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang
datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya
dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para
keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk
kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan
kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan
demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh
dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah. Perkembangan wakaf pada masa
dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat
diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan
pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran,
penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya
yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan
pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman
Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.
Manfaat
wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti
wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial,
membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir
dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain,
ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana
yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu
diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain
kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.
Perkembangan
berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda
ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski
tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun
menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada
dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277
M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih
hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada orde al-Dzahir Bibers
perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang
diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk
membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat
umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah
kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara
Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis
mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang
perwakafan.
Di
antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan
tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil
Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan
wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf
dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan
perundang-udangan. Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan
tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang
tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan
diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan
dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari
waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang
berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat
bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia
terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak.
Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian
yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat
kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan
selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai
inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan
Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian
mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41
tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.[3]
[1]
Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, Drs.MM, Wakaf
menyejahterakan umat, Rekam Jejak Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang
dalam mengelola wakaf (Unissula Press: 2015) 31-32
[2]
http://bwi.or.id/index.php/in/sejarah-a-perkembangan-wakaf-tentang-wakaf-118,
diakses pada Sabtu 19 Desember 2015 20.59
[3]
https://makalahtentang.wordpress.com/2012/05/09/sejarah-wakaf/
diakses pada Sabtu 19 Desember 2015 21.02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar