Membahas tentang tujuan hukum Islam maka tidak bisa lepas
dari teori dan konsep tentang maqasid al-syariah dalam Islam. Teori ini telah
berkembang sejak awal turunnya wahyu, dalam arti tujuan dan maksud dari adanya
syariah (agama Islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada di dalam
wahyu tersebut, baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
1. Pengertian
Secara etimologi, term Maqashid Asy-Syariah berasal dua
kata yaitu kata maqashid dan al-syariah. Maqasid adalah jamak dari yang berasal dari fiil قصد yang berarti mendatangkan
sesuatu, juga berarti tuntutan, kesengajaan dan tujuan.
Secara etimologis kata Syari’ah berakar
kata syara’a (ع ر ش) yang berarti “sesuatu yang dibuka secara
lebar kepadanya”. Dari sinilah terbentuk kata syari’ah yang
berarti “sumber air minum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab
dengan jalan yang lurus yang harus diikuti.
Secara terminologis, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan
syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini
dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan
dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai
hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk
diikuti
Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syari’ah berarti
“ segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan
menurut Manna al-Qaththan, syari’ah berarti segala ketentuan yang disyariatkan
bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat.
Dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli dapat
dirumuskan bahwa syari’ah adalah aturan-aturan yang berkenaan dengan prilaku
manusia, baik yang berkenaan dengan hukum pokok maupun hukum cabang yang
bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi saw.
Namun demikian, perlu difahami bahwa meskipun syari’at
Islam itu tidak berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan
kondisi, sebab petunjuk-petunjuk yang dibawakannya dapat membawa manusia kepada
kebahagiaan yang abadi.
Tujuan-tujuan syariat
dalam Maqashid al-Syari’ah menurut al-Syatibi ditinjau dari dua bagian.Pertama, berdasar pada tujuan Tuhan selaku pembuat
syariat. Kedua, berdasar pada tujuan manusia yang
dibebani syariat. Pada tujuan awal, yang pertama,
berkenaan dengan segi tujuan Tuhan dalam menetapkan prinsip ajaran syariat, dan
dari segi ini Tuhan bertujuan menetapkannya untuk dipahami, juga agar manusia
yang dibebani syariat dapat melaksanakan, juga agar mereka memahami esensi
hikmah syariat tersebut.
2. Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa
fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid
Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di
dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati
fase-fase seperti di atas. Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase
perkembangan ini, maka ada dua fase dalam perkembangan ini: fase pra
kodifikasi, dan fase kodifikasi.
a) Fase Pra Kodifikasi
Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan
hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah
meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam
ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah Ta’ala
menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.
Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara
persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah
terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba
mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits. Jika mereka tidak
menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits,
maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat
maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya
maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi
persolan baru tadi.
Pada umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu
persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan
Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab
diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi. menjalankan sesuatu
atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan. Mereka mengerti
alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan
seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri
mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara
berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.
Di antara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan
tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang
sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan
seorang perempuan Yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah
untuk menceraikannya. Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan
dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a
haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra.
kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat
kamu menikahi perempuan Yahudi tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada
umumya perempuan-perempuan Yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa
menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya
free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim
yang tidak laku.
Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja
dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai
khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta
keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk
memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya. Contoh
lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di
pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian
mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah
barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi
membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena
untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.
Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan
mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan
maqashid syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.
Misalnya tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan
umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan
menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat
bahwa tas’ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk
menjual harganya.
Namun, Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain
mengeluarkan fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta
menjelaskan alasan keengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan
yang mendesak waktu itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu
oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu.
Sementara pada masa tabi’in, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan
barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama,
sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan
menghindari praktek penimbunan. Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan
oleh para tabiin. Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabi’in dalam
menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk
membukukan ilmu ini sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah
dipelajari.
b) Fase Kodifikasi
Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata
maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni
dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha. Tapi jika kita
menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka
kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H)
dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan
maqashid pada masa sahabat.
Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya
yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai
ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah
seperti hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi
tema-tema ilmu maqashid. Setelah Imam Syafi’i, muncul al Hakim al Tirmidzi,
disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu
al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih
mudah dipahami dan diterima oleh manusia.
Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya
Ilalu al Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu
al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al
I’lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan
agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang
dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta)
yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.
Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang
menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema
pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas
beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga
maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al
‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan
‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi
(w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H),
baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan
bahwa dalam ilmu maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah
dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi
bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan
yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi
sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia
mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari
empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah
dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara
urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga
lebih mudah untuk dipelajari.
Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu
maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak
tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk
membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada
akhirnya mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
3. Macam-macam
maqashid al-syari’ah
A. Memelihara
segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam kehidupannya
Urusan yang dharuri iru adalah segala sesuatu yang
diperlukan untuk hidup manusia yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan
rusaknya sendi-sendi kehidupan sehingga akibatnya akan timbul kekacaunan.[5]
Urusan
yang dharuri itu ada 5 macam yaitu:
a) memelihara
agama (Hifzh Al-din)
Menjaga
atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dapat dibedakan
menjadi tga peringkat:
ð peringkat
dharuriyat
Yaitu:
memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan, yang termasuk dalam peringkat
primer, seperti melaksankan sholat lima waktu, kalau sholat itu diabaikan maka
akan terancam eksistensi agama.
ð peringkat
hajiyyat
Yaitu
mewlaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan , seperti
sholat jamak dan qashar bagi orang yang sedang berpergian, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama namun hanya akan
mempersulit bagi orang tersebut.
ð Peringkat
tahsiniyyat
Yaitu
mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia. Misalnya
menutup aurat, membersihkan badan dan lain-lain.
b) Menjaga Jiwa(Hifz Al Nafs)
Juga
terbagi kedalam tiga bagian:
ð tingkat
dharuriyat
Seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan
untuk mempertahankan hidup. Jika ini diabaikan maka akan terancam hidup manusia
itu sendiri.
ð Tingkat
hajiyyat
Seperti diperbolehkan berburu binatang utuk menikmati
makanan yag lezat dan halal, tapi jia ini diabaikan maka tidak akan mengancam
hidup tetapi hanya mempersulit hidupnya.
ð tingkat
tahsiniyyat
Seperti ditetapkanya tata cara makan dan minum. Jika ini
tidak terlaksana maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa dan juga tidak akan
mempersulit kehidupan seseorang.
c) memelihara
akal (Hifzh al-aql)
Dilihat
dari segi kepentingannya maka dapat dibedakan menjadi tiga pula yaitu:
ð tingkat
dharuriyat
seperti
diharamkan minuman keras. Jika ini tidak diindahkan maka akan berakibat
terancamnya eksistensi akal.
ð tingkat
hajiyyat
seperti
dianjurkan menuntut ilmu. Sekiranya hal itu tidak dilakukan, maka tidak akan
merusak akal, tetapi akan mempersulit seseorang dalam kaitanya dengan
pengembangan ilmu pengetahuan.
ð tingkat
tahsiniyyat
menghidarkan diri dari mengkhayal ataumendengarkan
sesuatu yan tidak berfaidah. Hal ini erat kaitanya denganetika dan tidak akan
mengancameksisitensi akal secara langsung.
d) memelihara
keturunan (Hifzh al-Nasl)
Ditinjau
dari segi kebutuhannya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yakni:
ð tingkat
dharuriyat
seperti
disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan maka
eksistensi keturunan akan terancam.
ð tingkat
hajiyyat
seperti
ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah.
Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad nikah maka suami akan mengalami
kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl.
ð tingkat
tahsiniyyat
Seperti
disyariatkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Jika hal ini diabaikan maka
tidak akan mengancam eksisitensi keturunan dan tidak pula mempersulit orang
yang melakukan
perkawinan.
e) Memelihara
Harta (Hifzh al-Mal)
Dilihat
dari segi kepentingannya, maka dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
ð tingkat
dharuriyat
seperti
syariat tentang cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain
dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan ini dilanggar maka akibatnya akan
terancam eksistensi harta.
ð tingkat
hajiyyat
seperti
jual beli dengan cara salam. jika ini tidak dipakai maka hanya
akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
ð tingkat
tahsiniyyat
seperti
ketentuan tentang menghindarkan diri daripengecohan atau penipuan. Hal ini juga
berpengaruh pada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini
juga merupakan syarat adanya peringkat kedua dan pertama.
B. Menyempurnakan
segala yang dihayati manusia
Urusan yang dihayati manusia itu ialah:segala sesuatu
yang diperlukan manusia untuk memudahkan urusan dan menangguhkan kesukaran.
C. Mewujudkan
keindahan bagi perseorangan dan bagi masyarakat.
Yang dikehendaki dengan urusan–urusan yang
mengindahkan ialah: segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan
dan keseragaman hidup. Apabila tuntutan ini terpenuhi maka tidak akan mengalami
kerusakan peraturan hidup. Contohnya dalam soal akhlak dan adat istiadat.
4. Tingkatan maqashid al-syari’ah.
1).
Kebutuhan dharuriyat
Ialah: tingkatan kebutuhan yang harus ada atau disebut degan kebtuhan primer.
Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan terancam keselamatan umat
manusia.
Menurut Al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori kebutuhan
dharuriyat ini yaitu: seperti yang telah disebutkan diatas, yakni: memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan harta.
Untukmemelihara lima pokok inilah syariat islam diturunkan.
2).
Kebutuhan Hijayat
Kebutuhan Hijayat ialah: kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana
bila terwujudkan sampai mengancam keselamatan seseorang atau umat. Namun akan
mengalami kesulitan sehingga syariat islam menghilangkan segala kesulitan itu,
yaitu dengan adanya hukum rukhsyah (keringanan).
Misalnya: islam membolehkan tidak puasa bagi orang yang melakukan perjalanan
dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan begitu juga
halnya dengan orang yang sakit.
Begitu juga dalam lapangan muamalat, yaitu: diperbolehkannya banyak bentuk transaksi
yang dibutuhkan manusia, seperti: mudharabah(berniaga dengan modal
orang lain dengan perjnjian bagi laba), syirkah, muzaraah dan
lain-lain.
Jadi kebutuhan hajiyat ini yaitu: kebutuhan sekunder yang bila tidak terpenuhi
maka tidak sampai mengancam kemaslahatan umat, tapi akan mendatangkan kesukaran
dan kesulitan.
3).
Kebutuhan Tashiniyat
Yaitu: tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi maka tidak akan mengancam
salah satu dari yang lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap seperti: hal-hal yang
merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak
enak dipandang mata.
5. Peranan
maqashid al-syari’ah dalam pengembangan hukum
Pengetahuan
tentang maqashid syaria’ah, yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami
redaksi Al-Quran dan hadits. Metode istimbat seperti Qiyas, Istihsan dan
masalah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan
atas Maqashid al-syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil,
Faturrahaman . Filsafat Hukum Islam,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997)
Hukum
islam .wordpress.com //2007/08/29/maqashidul-syari’ah/-tembolok
Abi Hasan Ahmad bin Faris
bin Zakaria, Mu’jam Maqayis
al-Lughah, Juz III (Mesir:
Dar al-Fikr wa al-Nasyr wa al-Tusi, 1979).
Manna al-Qaththan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam (t.tp: Muassasah al-Risalah,
t.th.).
Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihad wa
Athwaruhu (Kairo: Risalah
al-Buhuts al-Islamiyah, 1970).
Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum
Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975). Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal
al-Tasyri’ al-Islami (Beirut:
Dar al-Shadir, t.th.). Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqhi (Cet. VIII;
Kairo: t.p, 1992).
Yusuf al-Qardawy, As-Sa’ah wa al-Murunah fi
asy-Syari’ah al-Islamiyah,diterjemahkan oleh Agil Husin al-Munawar dengan
judul Keluasan dan Keluwesan
Hukum Islam (Cet. I;
Semarang: Dino Utama Semarang, 1993).
Imam Ibnu Mandzur,
Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175
Imam al-Raaziy, Mukhtaar
al-Shihaah, juz 1, hal. 161
Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam,
'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12
trimakasih, makalah disini bisa membantu refrensi saya
BalasHapus