Translate

Total Tayangan Halaman

Followers

Minggu, 19 Mei 2013

Maqashid Syariah


Membahas tentang tujuan hukum Islam maka tidak bisa lepas dari teori dan konsep tentang maqasid al-syariah dalam Islam. Teori ini telah berkembang sejak awal turunnya wahyu, dalam arti tujuan dan maksud dari adanya syariah (agama Islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada di dalam wahyu tersebut, baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
1.      Pengertian
Secara etimologi, term Maqashid Asy-Syariah berasal dua kata yaitu kata maqashid dan al-syariah. Maqasid adalah jamak dari yang berasal dari fiil قصد yang berarti mendatangkan sesuatu, juga berarti tuntutan, kesengajaan dan tujuan.
Secara etimologis kata Syari’ah berakar kata syara’a (ع ر ش) yang berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Dari sinilah terbentuk kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus yang harus diikuti.
Secara terminologis, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti
Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syari’ah berarti “ segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan menurut Manna al-Qaththan, syari’ah berarti segala ketentuan yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat.
Dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli dapat dirumuskan bahwa syari’ah adalah aturan-aturan yang berkenaan dengan prilaku manusia, baik yang berkenaan dengan hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi saw.
Namun demikian, perlu difahami bahwa meskipun syari’at Islam itu tidak berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi, sebab petunjuk-petunjuk yang dibawakannya dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang abadi.
Tujuan-tujuan syariat dalam Maqashid al-Syari’ah menurut al-Syatibi ditinjau dari dua bagian.Pertama, berdasar pada tujuan Tuhan selaku pembuat syariat. Kedua, berdasar pada tujuan manusia yang dibebani syariat. Pada tujuan awal, yang pertama, berkenaan dengan segi tujuan Tuhan dalam menetapkan prinsip ajaran syariat, dan dari segi ini Tuhan bertujuan menetapkannya untuk dipahami, juga agar manusia yang dibebani syariat dapat melaksanakan, juga agar mereka memahami esensi hikmah syariat tersebut.
2.         Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas. Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka ada dua fase dalam perkembangan ini: fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.

a)   Fase Pra Kodifikasi
Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah Ta’ala menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.
Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits. Jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.
Pada umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan. Mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.
Di antara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan Yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya. Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan Yahudi tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada umumya perempuan-perempuan Yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku.
Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya. Contoh lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.
Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.
Misalnya tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas’ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya.
Namun, Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan keengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan yang mendesak waktu itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabi’in, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan. Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan oleh para tabiin. Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabi’in dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah dipelajari.
b)   Fase Kodifikasi
Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha. Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.
Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Setelah Imam Syafi’i, muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia.
Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I’lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.
Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al ‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari.
Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
  3.      Macam-macam maqashid al-syari’ah

A.    Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam kehidupannya
Urusan yang dharuri iru adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk hidup manusia yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan sehingga akibatnya akan timbul kekacaunan.[5]
Urusan yang dharuri itu ada 5 macam yaitu:

a)     memelihara agama (Hifzh Al-din)
            Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dapat dibedakan menjadi tga peringkat:
ð  peringkat dharuriyat
Yaitu: memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan, yang termasuk dalam peringkat primer, seperti melaksankan sholat lima waktu, kalau sholat itu diabaikan maka akan terancam eksistensi agama.
ð peringkat hajiyyat
Yaitu mewlaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan , seperti sholat jamak dan qashar bagi orang yang sedang berpergian, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama namun hanya akan mempersulit bagi orang tersebut.
ð Peringkat tahsiniyyat
Yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia. Misalnya menutup aurat, membersihkan badan dan lain-lain.

b)      Menjaga Jiwa(Hifz Al Nafs)
Juga terbagi kedalam tiga bagian:
ð tingkat dharuriyat
Seperti memenuhi kebutuhan pokok  berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika ini diabaikan maka akan terancam hidup manusia itu sendiri.
ð Tingkat hajiyyat
Seperti diperbolehkan berburu binatang utuk menikmati makanan yag lezat dan halal, tapi jia ini diabaikan maka tidak akan mengancam hidup tetapi hanya mempersulit hidupnya.
ð tingkat tahsiniyyat
Seperti ditetapkanya tata cara makan dan minum. Jika ini tidak terlaksana maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa dan juga tidak akan mempersulit kehidupan seseorang.

c)      memelihara akal (Hifzh al-aql)
Dilihat dari segi kepentingannya maka dapat dibedakan menjadi tiga pula yaitu:
ð tingkat dharuriyat
seperti diharamkan minuman keras. Jika ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
ð tingkat hajiyyat
seperti dianjurkan menuntut ilmu. Sekiranya hal itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit seseorang dalam kaitanya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
ð tingkat tahsiniyyat
menghidarkan diri dari mengkhayal ataumendengarkan sesuatu yan tidak berfaidah. Hal ini erat kaitanya denganetika dan tidak akan mengancameksisitensi akal secara langsung.

d)     memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl)
           Ditinjau dari segi kebutuhannya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yakni:
ð  tingkat dharuriyat
seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.
ð tingkat hajiyyat
seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad nikah maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl.
ð tingkat tahsiniyyat
Seperti disyariatkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Jika hal ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksisitensi keturunan dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.         

e)     Memelihara Harta (Hifzh  al-Mal)

Dilihat dari segi kepentingannya, maka dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
ð tingkat dharuriyat
seperti syariat tentang cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan ini dilanggar maka akibatnya akan terancam eksistensi harta.
ð tingkat hajiyyat
seperti jual beli dengan cara salam. jika ini tidak dipakai maka hanya akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
ð tingkat tahsiniyyat
seperti ketentuan tentang menghindarkan diri daripengecohan atau penipuan. Hal ini juga berpengaruh pada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat kedua dan pertama.

B.  Menyempurnakan segala yang dihayati manusia
Urusan yang dihayati manusia itu ialah:segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan urusan dan menangguhkan kesukaran.

 C. Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan bagi masyarakat.
Yang dikehendaki dengan urusan–urusan yang mengindahkan ialah: segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan dan keseragaman hidup. Apabila tuntutan ini terpenuhi maka tidak akan mengalami kerusakan peraturan hidup. Contohnya dalam soal akhlak dan adat istiadat.

4. Tingkatan maqashid al-syari’ah.

1). Kebutuhan dharuriyat
            Ialah: tingkatan kebutuhan yang harus ada atau disebut degan kebtuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan terancam keselamatan umat manusia.
            Menurut Al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori kebutuhan dharuriyat ini yaitu: seperti yang telah disebutkan diatas, yakni: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan harta. Untukmemelihara lima pokok inilah syariat islam diturunkan.


2). Kebutuhan Hijayat
            Kebutuhan Hijayat ialah: kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bila terwujudkan sampai mengancam keselamatan seseorang atau umat. Namun akan mengalami kesulitan sehingga syariat islam menghilangkan segala kesulitan itu, yaitu dengan adanya hukum rukhsyah (keringanan).
            Misalnya: islam membolehkan tidak puasa bagi orang yang melakukan perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan begitu juga halnya dengan orang yang sakit.
            Begitu juga dalam lapangan muamalat, yaitu: diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang dibutuhkan manusia, seperti: mudharabah(berniaga dengan modal orang lain dengan perjnjian bagi laba), syirkahmuzaraah dan lain-lain.
            Jadi kebutuhan hajiyat ini yaitu: kebutuhan sekunder yang bila tidak terpenuhi maka tidak sampai mengancam kemaslahatan umat, tapi akan mendatangkan kesukaran dan kesulitan.

3). Kebutuhan Tashiniyat
            Yaitu: tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi maka tidak akan mengancam salah satu dari yang lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa  kebutuhan pelengkap seperti: hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata.



5.      Peranan maqashid al-syari’ah dalam pengembangan hukum
Pengetahuan tentang maqashid syaria’ah, yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Quran dan hadits. Metode istimbat seperti Qiyas, Istihsan dan masalah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqashid al-syari’ah.


  

 DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Faturrahaman . Filsafat Hukum Islam,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997)

Hukum islam .wordpress.com //2007/08/29/maqashidul-syari’ah/-tembolok

Abi Hasan Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz III (Mesir: Dar al-Fikr wa al-Nasyr wa al-Tusi, 1979).
Manna al-Qaththan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam (t.tp: Muassasah al-Risalah, t.th.).
Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihad wa Athwaruhu (Kairo: Risalah al-Buhuts al-Islamiyah, 1970).
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Shadir, t.th.). Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi (Cet. VIII; Kairo: t.p, 1992).
Yusuf al-Qardawy, As-Sa’ah wa al-Murunah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah,diterjemahkan oleh Agil Husin al-Munawar dengan judul Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam (Cet. I; Semarang: Dino Utama Semarang, 1993).
Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175

Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161

Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12

1 komentar: