BAB I
PENDAHULUAN
Wakaf Merupakan salah satu
tuntutan ajaran islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka
ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial). Karena Wakaf adalah Ibadah, maka tujuan
utamanya adalah pengabdian diri kepada Allah SWT dan Ikhlas karena mencari
Ridla-Nya.
Selama ini, perwakafan
belum diatur secara tuntas dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Wakaf
mengalir begitu saja apa adanya kurang memperoleh penanganan yang
sungguh-sungguh, baik ditinjau dari pemberian motivasi maupun pengelolaanya.
Akibatnya dapat dirasakan hingga kini, yaitu terjadi penyimpangan pengelolaan
wakaf dari tujuan wakaf sesungguhnya. Disamping itu, karena tidak adanya
ketertiban pendataan, banyak benda wakaf yang karena tidak diketahui datanya,
jadi tidak terurus bahkan wakaf itu masuk ke dalam siklus perdagangan.
Keadaan demikian tidak
selaras dengan maksud dari wakaf yang sesungguhnya dan juga akan mengakibatkan
kesan kurang baik terhadap islam sebagai ekses penyelewengan wakaf, sebab tidak
jarang sengketa wakaf terpaksa harus diselesaikan di pengadilan.
Padahal kalau dikaji
dengan seksama, perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
adanya peranan wakaf. Kebiasaan berwakaf sebenarnya sudah melembaga sedemikian
rupa di kalangan ummat Islam, walaupun hasilnya belum maksimal seperti yang
diharapkan. Artinya, jumlah harta wakaf khususnya wakaf tanah dan uang belum
mencukupi dan berpengaruh secara signifikan di masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN WAKAF
Secara bahasa (etimologi), wakaf berasal dari kata waqafa yang berarti menahan, mencegah,
menghentikan dan berdiam di tempat. secara istilah
(terminologi), wakaf adalah “perbuatan hukum seseorang atau kelompok
orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta benda miliknya
(aset produktif) dan melembagakannya untuk selamanya atau sementara untuk
dimanfaatkan guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya yang sesuai
dengan ajaran Islam. Adapun secara istilah syariat,
sebagian ulama menyebutkan bahwa wakaf adalah: “Menahan suatu benda dan membebaskan/mengalirkan
manfaatnya.”
Disyariatkannya wakaf di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai
berikut.
1. Dalil dari al-Qur’an
Secara umum wakaf ditunjukkan oleh firman AllahTa’ala :
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa saja yang kalian
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92)
Begitu pula ditunjukkan oleh firman-Nya:
“Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi
pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).”
(al-Baqarah: 272)
2. Dalil dari al-Hadits
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang
menjadi pijakan dalam masalah ini (wakaf) adalah bahwasanya Amirul Mukminin
Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu memiliki tanah di Khaibar. Tanah
tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki. Beliau pun datang
menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam untuk meminta pendapat beliau Shallallaahu
‘alaihi Wasallam tentang apa yang
seharusnya dilakukan (dengan tanah tersebut)—karena para sahabat g adalah
orang-orang yang senantiasa menginfakkan harta yang paling mereka sukai. Nabi
Shallallaahu ‘alaihi Wasallam
memberikan petunjuk kepada beliau untuk mewakafkannya dan mengatakan,
“Jika engkau mau, engkau tahan harta
tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ini adalah wakaf pertama dalam Islam. Cara seperti ini tidak dikenal di
masa jahiliah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Disyariatkannya wakaf juga ditunjukkan oleh hadits:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya kecuali
dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh
yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan hadits ini, “Di
dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya wakaf dan
besarnya pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim)
3. Ijma’
Disyariatkannya wakaf ini juga ditunjukkan oleh ijma’, sebagaimana
diisyaratkan oleh al-Imam at-Tirmidzi t ketika menjelaskan hadits Umar
Radhiyallaahu ‘anhu tentang wakaf.
Beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan sahih. Para ulama dari kalangan
para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam dan yang lainnya telah mengamalkan hadits
ini. Di samping itu, kami tidak menjumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan
orang-orang yang terdahulu di antara mereka tentang dibolehkannya mewakafkan
tanah dan yang lainnya.” (Jami’ al-Imam at-Tirmidzi)
Rukun Wakaf
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Raudhatuth
Thalibin bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju dari wakaf tersebut), dan
4. Shighah (lafadz dari yang mewakafkan).
Syarat Wakaf
èSyarat Wakif, Orang yang mewakafkan disyaratkan cakap bertindak dalam
membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi 4 macam kriteria,
yaitu:
1 Merdeka.
2 Berakal sehat.
3 Dewasa.
4 Tidak di bawah pengampuan.
èSyarat Mauquf, benda-benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Benda tersebut harus mempunyai nilai.
2. Benda bergerak atau benda tetap yang dibenarkan untuk diwakafkan.
3. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi wakaf.
4. Benda tersebut telah menjadi milik si wakif.
èSyarat Mauquf ‘Alaih.
Mauquf ‘Alaih yaitu orang atau badan hukum yang berhak menerima harta
wakaf. Adapun syarat-syaratnya ialah:
1. Harus dinyatakan secara tegas pada waktu mwngikrarkan wakaf, kepada
siapa/apa ditujukan wakaf tersebut.
2. Tujuan wakaf itu harus untuk ibadah.
èSyarat Shighat.
Shighat akad adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang
berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya.
Adapun syarat sahnya shighat adalah:
1. Shighat harus munjazah (terjadi seketika).
2. Shighat tidak diikuti syarat bathil. Shigaht tidak diikuti pembatasan
waktu tertentu.
3.Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah
dilakukan.
Penjelasan Wakaf Dalam KHI
Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya
dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan
hukum yang mewakafkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk
mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda
bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali
pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya
disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan
peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya
kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam
ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF
Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan
wakaf.
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau
orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak
terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat
mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak
untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215
ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan,
sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan
kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh
sekurangkurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat
(4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda
yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal
benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus
didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran
dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus
mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan
sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat
menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak
memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung
atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung
tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam
pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit
perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari
3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung
jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai
dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala
atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai
Nadzir;
d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena
salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya
diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah
seorang ahli warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan
jumlahnya ditentukanberdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan
dan Kantor Urusan Agama Kecamatansetempat.
TATA CARA PERWAKAFAN DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF
Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan
ikrar wakaf di hadapan Pejabat PembuatnyaAkta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan
ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri
Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta
Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya
2 (dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1)
pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam
Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak
bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat
oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan
kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama
Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk
mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan
kelestarian.
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN PENGAWASAN BENDA
WAKAF
Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan
tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud
dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan
berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan
alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf
seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf
dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan
secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama
Kecamatan dan Pengadilan agama yang mewilayahinya.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum
dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
ini.
Ketentuan Penutup
Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Daftar Pustaka
Faishal Haq, Drs dan A. Saiful Anam,
Drs. H, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Garoeda Buana Indah, Pasuruan,
1993, hal. 17-29