PENDAHULUAN
Pemerintahan pada masa Nabi Muhammad saw, merupakan realita kehidupan ummat
Islam sepanjang perjalanan politik Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan
Al-Sunnah bagi masyarakat Madinah yang plural dan menerima agama baru (Agama
Islam) yang dibawa oleh Nabi saw yang pada waktu itu belum mempunyai tempat
atau wilayah yang bisa mengendalikan kepemimpinan syariat Islam. Kondisi
seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi perjuangan Nabi saw yang kemudian
lahir sebuah kebijakan-kebijakan Nabi yang sangat strategis diantaranya tentang
perintah hijrah ke Habsah, mengadakan kerjasama dengan suku-suku diluar Makkah,
melahirkan bai’at, melindungi orang-orang yang tertindas dan mengupayakan
kesejahteraan.
Sistem politik
Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu perkara yang
paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di
tangan rakyat maupun Kepala Negara, melainkan ditangan syara’. Hanya
saja pesan-pesan syara’ yang sifatnya ilahi itu tidak dimonopoli oleh
Kepala Negara (khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh tokoh agama karena
kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara’ (baik dari segi hukum
maupun kewajibannya) adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan
wewenang pelaksanaan politik itu terpusat kepada khalifah, tidak
menyebabkan kelemahan negara Islam, malah justru memperkuatnya.
Kekuasaan
khalifah adalah kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat
Islam. Kontrol pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah serta tolok ukur
yang jelas (yakni nash-nash syara’) telah menjadikan daulah ini kokoh
dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad.
Sepakatlah
semua pemikir muslim bahwa Madinah adalah negara Islam yang pertama, dan apa
yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah memimpin
masyarakat Islam dan memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi
juga sebagai kepala negara Islam Madinah.
KEPEMERINTAHAN
NABI MUHAMMAD SAW DI MADINAH
Landasan Politik
di Masa Rasulullah
Langkah-langkah
Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga
beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah
masyarakat dalam apa yang disebut sekarang sebagai negara. Beberapa bukti bisa
disebut, diantaranya:
èBai’at
Aqabah
Pada
tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku Khajraz di Yathrib bertemu
dengan Rasululah di Aqabah, Mina. Mereka datang untuk berhaji. Sebagai hasil perjumpaan
itu, mereka semua masuk Islam. Dan mereka berjanji akan mengajak penduduk
Yathrib untuk masuk Islam pula. Pada musim haji berikutnya, dua belas laki-laki
penduduk Yathrib menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka, selain masuk
Islam, juga mengucapkan janji setia (bai’at) kepada Nabi untuk tidak
menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak
mengkhianati Nabi. Inilah Bai’at Aqabah Pertama. Kemudian pada musim
haji berikutnya sebanyak tujuh puluh lima penduduk Yathrib yang sudah masuk
Islam berkunjung ke Makkah. Nabi menjumpai mereka di Aqabah. Di tempat itu
mereka mengucapkan bai’at juga, yang isinya sama dengan bai’at
yang pertama, hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka
berjanji akan membela Nabi sebagaimana membela anak istri mereka, bai’at
ini dikenal dengan Bai’at Aqabah Kedua.
Kedua
bai’at ini menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993)
merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Bai’at tersebut merupakan
janji setia beberapa penduduk Yathrib kepada Rasulullah, yang merupakan bukti
pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul, sebab
pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui bai’at melainkan melalui syahadat.
Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah memiliki pendukung yang terbukti
sangat berperan dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar
bai’at ini pula Rasulullah meminta para sahabat untuk hijrah ke Yathrib,
dan beberapa waktu kemudian Rasulullah sendiri ikut Hijrah bergabung dengan mereka.
èPiagam Madinah
Umat
Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yathrib, yang
kemudian berubah menjadi Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu
komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad, Penduduk
Madinah ada tiga golongan. Pertama
kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan ini adalah
kelompok mayoritas. Kedua, kaum
musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Kharaj yang belum masuk Islam,
kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi
yang terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota Madinah,
yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu
Banu Nadlir, Banu Quaraizhah, dan Yahudi Khibar. Jadi Madinah adalah masyarakat
majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah memaklumkan satu piagam
yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di Madinah, yang dikenal dengan
Piagam (Watsiqah) Madinah.Inilah yang dianggap sebagai konstitusi
negara tertulis pertama di dunia. Piadam Madinah ini adalah konstitusi negara
yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.
PERAN SEBAGAI
KEPALA NEGARA
èDalam negeri
Sebagai
Kepala Negara, Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan sumber daya manusia, dan yang utama
sehingga didapatkan manusia yang tangguh adalah penanaman aqidah dan ketaatan
kepada Syariat Islam. Di sinilah Rasulullah, sesuai dengan misi kerasulannya
memberikan perhatiaan utama. Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada
para sahabat di Makkah, di Madinah Rasul terus melakukan pembinaan seiring
dengan turunnya wahyu. Rasul membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra
pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan Rasulullah melakukan pengaturan
sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang pemerintahan, sebagai kepala
pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa
fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan
baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai wazir.
Juga mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam,
diantaranya Muadz Bin Jabal sebagai wali sekaligus qadhi di
Yaman.
Nabi mengambil prakarsa mendirikan
lembaga pendidikan. Pasukan Quraisy yang tertawan dalam perang Badar dibebaskan
dengan syarat setiap mereka mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak- anak
muslim. Semenjak saat itu kegiatan belajar baca tulis dan kegiatan
pendidikan lainnya berkembang dengan pesat di kalangan masyarakat. Ketika Islam
telah tersebar ke seluruh penjuru jazirah Arabia, Nabi mengatur pengiriman
guru-guru agama untuk ditugaskan mengajarkan al-Qur'an kepada masyarakat
suku-suku terpencil
Nabi Muhammad saw merupakan orang yang pertama kali
memperkenalkan kepada masyarakat Arab sistem pendapatan dan pembelanjaan
pemerintahan. Beliau mendirikan lembaga kekayaan masyarakat di Madinah. Lima
sumber utama pendapatan negara Islam yaitu Zakat, Jizyah (pajak perorangan),
Kharaj (pajak tanah), Ghanimah (hasil rampasan perang) dan al-Fay' (hasil tanah
negara). Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim atas harta kekayaan yang
berupa binatang ternak, hasil pertanian, emas, perak, harta perdagangan dan
pendapatan lainnya yang diperoleh seseorang. Jizyah merupakan pajak yang
dipungut dari masyarakat non muslim sebagai biaya pengganti atas jaminan
keamanan jiwa dan harta benda mereka. Penguasa Islam wajib mengembalikan jizyah
jika tidak berhasil menjamin dan melindungi jiwa dan harta kekayaan masyarakat
non muslim. Kharaj merupakan pajak atas kepemilikan tanah yang dipungut kepada
setiap masyarakat non muslim yang memiliki tanah pertanian. Ghanimah merupakan
hasil rampasan perang yang 4/5 dari ghanimah tersebut dibagikan kepada pasukan
yang turut berperang dan sisanya yaitu 1/5 didistribusikan untuk keperluan
keluarga Nabi, anak-anak yatim, fakir miskin dan untuk kepentingan umum
masyarakat. al-Fay' pada umumnya diartikan sebagai tanah-tanah yang berada di
wilayah negeri yang ditaklukkan, kemudian menjadi harta milik negara.
èLuar Negeri
Sebagai
Kepala Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain.
Menurut Tahir Azhari (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirimkan sekitar 30
buah surat kepada kepala negara lain, diantaranya kepada Al Muqauqis Penguasa
Mesir, Kisra Penguasa Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di
Palestina. Nabi mengajak mereka masuk Islam, sehingga politik luar negeri
negara Islam adalah dakwah semata, bila mereka tidak bersedia masuk Islam maka
diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut
diperangi.
HUBUNGAN RAKYAT DAN NEGARA
èPeran
Rakyat
Dalam
Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara, karena
negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan
syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara
keseluruhan di segala lapangan kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat dan
negara akan dihasilkan hubungan yang sinergis bila keduanya memiliki kesamaan
pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam,
1997), pertama asas pembangunan peradaban (asas al Hadlarah)
adalah aqidah Islam, kedua tolok ukur perbuatan (miqyas al ‘amal)
adalah perintah dan larangan Allah, ketiga makna kebahagiaan (ma’na
sa’adah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah. Ketiga hal
tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam serta
syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan.
Adapun
peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat
Islam yang wajib ia laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya syariat Islam,
yakni kesediaan masing-masing individu tanpa pengawasan orang lain karena
dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam, kedua, mengawasi
pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya penyelenggaraan negara, ketiga,
rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun
intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah
percaturan dunia. Di sinilah potensi umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam
(izzul Islam wa al Muslimin).
èAspirasi
Rakyat
Dalam
persoalaan hukum syara’, kaum muslimin bersikan sami’ na wa atha’na.
Persis sebagaimana ajaran al Qur’an, kaum muslimin wajib melaksanakan
apa saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam masalah
ini Kepala Negara Islam menetapkan keputusannya berdasarkan kekuatan dalil,
bukan musyawarah, atau bila hukumnya sudah jelas maka tinggal melaksanakannya
saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri’ untuk mengetahui
hukum syara’ atas berbagai masalah dan terikat selalu dengannya setiap
waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar seluruh rakyat taat kepada syariat,
dan negara melaksanakan kewajiban syara’nya dengan sebaik-baiknya.
Di
luar masalah tasyri’, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam
musyawarah kadang
Rasulullah mengambil suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang benar
karena pendapat tersebut keluar dari seorang yang ahli dalam masalah yang
dihadapi. Dan para sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya
kepada Rasulullah, setelah mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini
wahyu dari Allah atau pendapat Rasul sendiri.
èPenegakkan
Hukum
Hukum
Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim di luar perkara ibadah
dan aqidah. Tidak ada pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, banding,
ataupun kasasi. Tiap keputusan Qadhi adalah hukum syara’ yang
harus dieksekusi. Peradilan berjalan secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau
siapapun.
ISLAM MASA KHALIFAH ABU BAKAR
Abu Bakar
ash-Shiddiq (573 - 634 M, menjadi khalifah 632 -
634 M) lahir dengan nama Abdus Syams, adalah khalifah pertama Islam
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW . Ia adalah salah seorang petinggi Mekkah dari suku Quraisy. Setelah
memeluk Islam namanya diganti oleh Muhammad menjadi Abu Bakar. Ia digelari Ash-
Shiddiq yang berarti yang terpercaya setelah ia menjadi orang
pertama yang mengakui peristiwa Isra' Mi'raj.
Ia juga adalah
orang yang ditunjuk oleh Nabi
Muhammad SAW untuk menemaninya hijrah ke Yatsrib. Ia dicatat
sebagai salah satu Sahabat Muhammad yang peling setia dan terdepan melindungi
para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya sendiri.
Ketika Nabi Muhammad SAW sakit
keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya
menjadi Imam dalam Salat. Hal ini
menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad agar Abu
Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam, sedangkan sebagian kecil
kaum Muslim saat itu, yang kemudian membentuk aliansi politik Syiah, lebih
merujuk kepada Ali bin Abi Thalib karena ia merupakan keluarga Nabi. Setelah
sekian lama perdebatan akhirnya melalui keputusan bersama umat islam saat itu,
Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin pertama umat islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Abu
Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun 632 sejak kematian Muhammad hingga
tahun 634 M.
Selama dua
tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami
kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa
kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah
Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium.
Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang
dialaminya.
Abu Bakar
menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa
sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama
tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi
kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam.
Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan
sendirinya batal setelah Nabi
Muhammad SAW wafat. Karena itu mereka menentang Abu
Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan
agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang
disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah
panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya,
kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa
Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah
juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat
besarnya bermusyawarah.
Setelah
menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan
ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah
al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat
panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan
dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid yang masih
berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan
meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke
Syria.
ISLAM MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
Umar bin
Khattab (586-590 - 644 M, menjadi khalifah 634 -
644 M) adalah khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar bukan
berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh
Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan berarti di kalangan umat
islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar sebagai orang yang
paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya segelintir kaum, yang
kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya Ali yang
menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh tahun dari tahun 634 hingga
644.
Ketika Abu
Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka
sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan
maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima
masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut
dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan
istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar
gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota
Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara
Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah
kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke
Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn
Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria, sekarang Istanbul), ibu
kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah
kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada
tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang
jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan
demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan
Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah
Persia, dan Mesir.
Karena
perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara
dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia.
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah,
Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa
departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan
ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam
rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga
keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan
pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan
membuat tahun hijiah.
Umar memerintah
selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian.
Dia dibunuh oleh seorang Zoroastrianis, budak Fanatik dari Persia bernama Abu
Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang
dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka
untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut
adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn
'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman
sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
DAFTAR PUSTAKA
Taqiyuddin An Nabhani, Sistem
Pemerintahan Islam – Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik (terjemahan), Al
Izzah, Bangil, 1997
Tahir Azhari, Negara Hukum, 1992
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar